Pages

15 December 2011

Bentuk Baru dari Demokrasi dalam Menghadapi Globalisasi

Demokrasi selama ini merupakan ide yang mendominasi dalam pembentukan organisasi politik nasional negara-negara di dunia. Tidak hanya di negara-negara Barat seperti AS dan negara-negara Eropa saja, akan tetapi turut menyebar hingga ke Amerika Latin, Asia dan Afrika. Proses dan prosedur demokrasi yang sedang berlangsung di dunia menyebabkan perubahan jumlah negara-negara otoritarian yang cukup mencolok dalam beberapa dekade terakhir ini. Apabila pada pertengahan 1970-an jumlah negara-negara otoritarian mendominasi sekitar dua pertiga dari keseluruhan negara-negara di dunia, saat ini jumlahnya menurun drastis hingga hanya tersisa kurang dari sepertiganya (Held, 1997).

David Held (1991) menunjukkan betapa lemahnya demokrasi ketika sebuah kebijakan yang mempengaruhi masyarakat di negara lain, hanya menjadi sebuah kebijakan nasional. Seperti ijin untuk penebangan hutan hujan, yang mungkin akan membahayakan pihak lain, secara formal tidak ada tanggung jawab dari negara pengambil keputusan jika terjadi bencana di luar teritorinya. Pada saat yang bersamaan, kebijakan juga dibuat secara quasi-regional atau quasi-internasional. Sehingga demokrasi yang berarti pengaturan nasib sendiri, menjadi sangat poblematik. Saat ini, dengan adanya pertumbuhan yang cepat dari interkoneksi dan interrelasi antara negara dan masyarakat yang bersifat cenderung kompleks, muncul tantangan terhadap demokrasi dalam batas-batas negara. Selain itu juga terdapat pertanyaan penting mengenai apakah negara bangsa sendiri masih bisa menjadi sumber pemikiran mengenai demokrasi. Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama harus dipahami mengenai sifat dasar dari globalisasi.

Globalisasi paling baik dipahami sebagai fenomena spasial dimana di satu sisi diawali dari ‘lokal’, yang kemudian diakhiri dengan ‘global’ di ujung yang lainnya (Held, 1997). Hal ini menggambarkan perubahan dalam pola aktivitas maupun organisasional manusia yang menjadi transkontinental atau transregional, dimana aktivitas harian manusia bisa dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di belahan bumi yang lain. Jadi, pada dasarnya globalisasi merupakan fenomena multidimensional yang meliputi domain aktivitas dan interaksi yang beraneka ragam, termasuk ekonomi, militer, budaya, sosial, politik, lingkungan dan sebagainya.
Kembali ke demokrasi, transformasi sifat alami dan prospek dari komunitas politik demokratis di era globaliasi sendiri meliputi beberapa hal. Pertama adalah efektivitas kekuatan politik yang tidak lagi sepenuhnya berada di tangan pemerintah, akan tetapi dibagi dan menyebar ke agensi-agensi dalam level nasional, regional maupun internasional. Kedua, ide mengenai nasib komunitas politik tidak lagi semata terletak dalam batas-batas satu negara saja. Ketiga, operasi negara-negara dalam sistem regional dan global yang semakin kompleks memiliki pengaruh terhadap otonomi maupun kedaulatan negara sendiri.

Perubahan tersebut terutama dalam keseimbangan harga dan keuntungan dari sebuah kebijakan maupun perubahan dalam keseimbangan kerangka kerja nasional, regional dan internasional. Keempat adalah masalah perbatasan negara yang banyak mewarnai abad ke-21. Dalam era dimana para aktor-aktor transnasional selalu melakukan perpindahan antar batas-batas negara, setiap keputusan dan kebijakan negara mengenai perbatasan tidak hanya mempengaruhi rakyatnya semata, akan tetapi juga rakyat dari negara-negara lain. Dari keempat sifat demokrasi ini dapat dipahami kalau tatanan demokratis di era globalisasi tidak bisa dipahami dalam lingkup sempit negara bangsa atau suatu komunitas tertutup saja, terutama ketika dunia sudah terinterkoneksi dalam intensitas maupun ekstensitas yang melewati batas-batas suatu negara.

Lalu bagaimana nasib legitimasi saat keputusan yang menyangkut tentang hidup mati banyak orang diambil ketika orang-orang yang bersangkutan tidak mempunyai hak untuk menentukan? Atau bagaimana nasib legitimasi ketika keputusan yang diambil mempengaruhi orang-orang di negara lain, atau hanya segelintir orang yang mempunyai kesempatan untuk mempengaruhi justifikasi?

Batas-batas territorial menjadi dasar apakah seseorang termasuk atau tidak termasuk dalam partisipasinya untuk pembuatan keputusan, namun hasil dari keputusan itu seringkali melewati batas-batas teritori. Implikasinya tidak hanya pada legitimasi tetapi ide dasar demokrasi itu sendiri. Bagaimana demokrasi seharusnya dipahami dalam dunia yang independen dan dunia ketergantungan. Masalahnya adalah bagaimana demokrasi dapat bertahan dalam power dan otoritas yang saling terhubung. Bagi demokrasi tidak hanya mengimplementasikan unsur-unsur kelompok sipil, hak-hak sosial politik, tapi juga pemenuhan terhadap hak-hak dalam dunia yang sangat kompleks, intergovernmental, dan struktur power transnasional. Jika demokrasi dapat dijalankan dengan melewati lintas batas negara, maka ini adalah arti dasar dari demokratisasi di era kekinian.

Dalam konteks ini, seharusnya terjadi pemikiran ulang tentang arti dan tempat dari demokrasi. Ada dua konsekuensi dari globalisasi, yaitu proses keterhubungan antara ekonomi, sosial, budaya, politik, dan militer yang mengubah sifat dari kedaulatan negara; dan keterhubungan global membuat rantai yang menyambungkan kebijakan politik dan outcomesnya antara satu negara dengan negara lain. Hal yang perlu dipikirkan ulang adalah memikirkan kembali arti dari politik dalam kaitannya dengan jaringan internasional dari negara, organisasi internasional, dan masyarakat sipil. Bentuk internasional dan struktur politik harus dibangun menjadi pondasi yang kuat dari pemikiran politik kontemporer dan menjadi teori dan praktik demokrasi.

David Held (1991) memberikan solusinya dengan menawarkan konsep model federal dari dari demokrasi. Yaitu negara-negara yang berbasis demokrasi membentuk suatu institusi suprastruktur untuk membuat parlemen regional misalnya. Hal ini bertujuan mengakomodir kepentingan konstituen yang menjadi korban dari isu-isu internasional. Institusi ini dapat membentuk sebuah majelis, namun harus sangat mengedepankan demokrasi. Tidak seperti PBB yang masih menggunakan hak vetonya. Namun, konsep ini tidak sepenuhnya jelas, bagaimana cara pengambilan keputusan, bagaimana cara membuat negara anggota “disiplin”. Tidak ada kejelasan di dalamnya.

Referensi:


Held, David. 1991. ‘Democracy and Globalization’ dalam buku ‘Alternatives’ Vol 16, No 2. Pp 201-208.

. 1997. ‘Democracy and Globalization’ dalam ‘MPIfG Working Paper 97/5. Max Planc Institue for The study of societies

0 comments:

Post a Comment

Kasih comment plis....

Powered By Blogger