Pages

11 January 2011

Tembakau-Tembakau Terlipat

Ada anak kecil yang mengamatimu dengan takjub, suatu malam. Takjub akan senyummu. Senyum sehari-hari pemuda peragu yang hidupnya hanya untuk mencari, entahlah mencari sesuatu dari sesuatu, yang tak terkira oleh jangkauan kereta pagi Surabaya-Bandung. Anak itu tidak sadar, kau juga memandangnya ketika dia sedang memandang dunianya. Dunia yang juga belum ditemukannya. Malam sama sekali tak paham, ada jalanan riuh penuh manusia padati sudut-sudut kota. Tapi semua membeku mengamatimu dan anak kecil itu. Terlalu sibuk, saling mencari hati yang tersembunyi. Anak itu hanya mampu merengkuh pundakmu, pula dengan keberanian ekstra, menahan malu atau risiko kau akan menjauh karena bau keringatnya setelah ngebut bersepeda untuk menemuimu.

“Woe...anak Unair pasti.”

Kamu ternyata mengenalnya, kamu sudah menemukan hatinya? Mungkin belum, terlalu cepat menemukan isi hati anak kecil lusuh yang tak terpahami, apa maksudnya mengikutimu hingga ke tempat ini. Walaupun sudah lelah hatinya mengikutimu. Anak yang berpenampilan apa adanya, lebih terlihat bersemangat daripada lelah. Anak itu mendekatimu segera.

“Hai mas, dari mana saja?”
“Baru makan, di angkringan sana. Di mana sepedamu?”

Inikah? Inikah yang kau cari? Saling basa-basi. Pemalu. Bodoh. Tapi hatimu juga bertanya, inikah?

“Udah aku parkir di Benteng.” Aku tahu, ketakjubannya padamu melebihi lelah apapun, melebihi bayangan terindahmu akan sebuah malam minggu singkat di jalanan Yogya. Anak itu berjalan mendahuluimu. Lidahmu ngilu, sedikit malu. Ada anak memperhatikanmu, walaupun dia...tidak terlalu cantik.

“Ayo ikut, aku mau hunting. Tadi jalan kaki beneran?”

“Iya. Aku tadi ketiduran terus dibangunin sama temenku, mau pinjam printer katanya. Mana temanmu yang satunya?” Sebenarnya kau ingin mengenal temannya kan? Lebih cantik. Tapi ada hal yang tak bisa kau dapatkan dari semua orang kecuali anak kecil itu, sebuah api, spontanitas, gila, rasa! Tapi rasa apa?

Dia duduk di dekat pagar, mengamati jalanan dan melihatmu bergantian. Kau duduk terlalu jauh.

“Gak ikut dia, ada acara katanya. Tapi aku sama temanku yang ini lho...” dia menunjuk ke arah anak yang lebih dewasa. Kau diam, menyalakan api, membakarku.

Anak kecil yang perasa, pemuda ini pasti menginginkan seorang dewasa yang anggun. Bukan dia, bukan anak kecil yang hidup dalam dunia kecilnya, bukan anak kecil yang menikmati kekecilannya, apalagi anak kecil yang tidak terlibat aturan-aturan orang dewasa. Tapi apakah dia tak berhak berharap? Sedikit saja rasa rindu dalam hatimu, sedikit saja kau sebut namanya dalam goresanmu. Terserah, semua punya hak untuk menginginkan, juga risiko untuk disakiti. Asapku mulai terbang.

Anak kecil itu hanya pasrah. Dia sangat menginginkanmu tapi tak tahu cara untuk mendapatkanmu. Dia takut jatuh, tapi sudah terlanjur jatuh.

Itukah cinta? sebuah kedekatan tanpa alasan. Dia merasa dirimu adalah bagian darinya. Sementara kau, pemuda bodoh, hanya bisa berkata “entah”. Aku menjadi sok tahu. Seharusnya kau malu denganku. Aku lelah menemanimu. Aku lelah melihatmu. Aku kasihan terhadap anak kecil itu, dia melihatmu sebagai hiasan natal di etalase toko yang tidak mampu dia beli. Dia melihatmu sebagai keindahan. Dan kau, hanya penasaran melihat apa yang anak itu lakukan. Aku hanya tertawa melihat kalian berdua. Biar aku tinggal puntung saja, kau matikan lalu kau buang di pinggir jalan. Bosan!





Surabaya, 22 Desember 2010
Powered By Blogger