Pages

08 September 2010

Yang Ingin Kukatakan tapi Tak Bisa

Dukaku bukan untukmu, yang membawaku menembus senja di antara kerlip kecil lampu mobil yang acuh melaju. Berbagai cerita terusik suara sirna fatamorgana kawan di pelataran aula. Hingga senja usai tinggalkan kita, aku tahu kau masih di sini.

Semua hanya tertawa seakan aku tak berguna, aku sendiri juga tak merasa berguna hingga batas cakrawala keunguan pendarkan senyummu, juga mata sayu di bawah topi usang itu.

Aku mempelajarimu setiap waktu bukan untuk kau ajarkan jadi pemalu, juga bukan menjadi peragu dalam keras jalanku. Jika rumahku merindukanmu, dan kameraku masih menyimpan bayangan biru kumis tipis itu, apa masih mampu aku menyuruhmu segera melepas gagang pintu?

Dalam perjalanan, aku tinggalkan catatan ungu tanpa pencerita bisu yang aku tahu rimbamu hanya peragu. Bila hujan temanmu, dan syair nyawamu, apa aku bisa sebentar saja menjadi yang tergambar ketika tintamu menyentuh usang kertas berlembar di atas bantal?

Aku takut hidupku lebih berantakan tak terlukiskan ketika menyerah tanpa arah di pusaran kamar kosku. Membayangkan saja hanya berteman dengan lagu paling menyentuh saat nyata menemaniku. Andai pintu depan kosku bisa menebak, pasti sepeda motormu takkan melaju secepat itu.

Juga senyummu yang membekas di sepanjang gang kecil yang tak terlindas oleh injak kaki mereka mahasiswa baru. Begitu khawatir akan susahku, juga kata yang keluar dari asin bibirmu, aku bisa menangkap dengan jaring kecil di pelupuk mataku, lalu terpejam dan kamu masih tersenyum membunuh ragu sambil menatapku diam-diam.

Hanya diam, mungkin menunggu. Ah, aku tak terbiasa menghadapi pemuda pemalu. Akan kuberondong dengan ocehan bisu yang keluar dari balik hati yang tertutup jerami berduri sisa sore itu.

Jadi pahlawan sudah tugasmu. Manis hadapi awal malam akhir agustus yang tenang. Semua tentang waktu yang terulang pelan hingga aku melihat bekas sujud di keningmu, atau leher gelap terbakar di depan kepalaku.

Bukan aku tak mau, hanya aku butuh waktu untuk mimpiku. Toh kamu masih sibuk dengan status mahasiswa baru. Sayang, ingin aku masuk menjelma menjadi aliran darah dalam arterimu, yang terus mengisi ruang kosong jantungmu. Hingga kau menyerahkan sepenuhnya waktumu untuk membiarkanku masuk sebentar saja membasahi dinding pembuluh jiwamu.

Aku berduka karena aku harus mengejar mimpiku, kamu candu yang membuat semua terasa lambat, hingga aku lupa waktu, dan menjadi tak menentu.

Sayang, maukah kau menunggu?

Surabaya, 30 Agustus 2010

Ajari lagi Aku Bermimpi

untuk Florensia Dita

Kau yang ajari aku jadi pemberani,
Hingga tak karam walau tsunami menyayat leher-depan putuskan nadi
Teriak lantang,
Tamparan kecil di ujung ruang,
dan cerita indah tentang bukit dalam ambisi

Riwayat sedihku selalu berulang-berujung
Dan dekapmu nyata membius
Ada satu makna tentang apa-dasar wanita perkasa!
Aku manja dengan segala ketololan
Lekang semusim di ujung rinjani-dalam batas mimpi

Ingat aku,
Kau buat terbang
Penuh suka terbaring di atas gunung, Boyolangu-Tulungagung

Ingat aku,
Membawamu jatuh
Tersungkur di depan patung Supriyadi

Ingat aku,
Kau buat jadi manusia
Menyanyi di kereta menuju Jogja

Ada jalan terjal, pantai hitam putih
Sebelum aku ke rumahmu
Pasirnya bisa bercerita dan menangis
Ombak terlalu keras menampar
Tapi ada karst, memagar agar camar tetap di selatan

Bukankah kita sewarna
Walau kadang pudar
Kau melepas sandalmu dan memakaikannya di kakiku
Saat tali sandalku putus
Bodoh!
Di Semen jalannya masih makadam!
Nanti saja kalau sudah di Slumbung atau di Wlingi

Lalu aku jadi benar-benar berani
Menghargai apa yang kau sebut “tak pernah menghianati jiwa-jiwa
yang mencintainya”
Menghargai pagi
Di antara pinus-pinus tua timur laut Blitar, Kelud-Kawi

Sedikit,
Jiwaku terhisap,
Matahari mengunci air,
Sungai tak bisa putuskan dahaga

Kita terbaring
Melihat bintang
Kota ada di bawah
Langit gelap ditaburi kecil gemerlap
Dan ramai anak-anak memasak
Sajian malam berlauk puncak

Aku lelah berjalan
Kau tak bisa mengimbangi
Aortaku pecah
Mengintip tangan kirimu yang penuh sayatan
Aku takut
Monumenku terguyur
Ilalang belum tumbuh subur
Jangan lagi kaku membujur

Aku akan ke sana,
Kota yang pernah kau tunjukkan
Di sekretariat sewaktu sore
Bayanganku penuh
Cerita tentang Norman Edwin atau National Geographic terbaru
Dokter-dokter muda perkasa
Diplomat Eropa
Catatan Seorang Demonstran dan Zaman Peralihan

Kembalilah,
Sekat hujan masih padati terjal perhentian
Tolong,
Dermaga sunyi menutup diri untuk perjalan
Sementara badai menghadang
Ke sini,
Ajari lagi aku bermimpi jadi pemberani




Surabaya, 6 September 2010
Powered By Blogger