Pages

09 May 2012

Lost in Delhi 2: Lotion, Mak Lampir, dan Terlunta di Stasiun


            Tidak susah menemukan koneksi internet di India. Termasuk di flat Rajeev yang koneksi wifinya lumayan cepat, sehingga saya bisa internetan dan bbman dengan kawan di Indonesia dan di India. Walaupun saya tidak bisa menelepon dan sms karena belum mempunyai nomor India.
            Saya bingung dengan banyaknya lotion dan gel yang ada di meja Rajeev. Apakah itu milik pacarnya, atau milik Rajeev sendiri. Apakah lotion itu digunakan untuk seluruh badan seperti yang biasa dilakukan oleh seorang perempuan, atau hanya untuk pelicin pas dia lagi *****. Berbagai pikiran pun muncul, mulai dari yang biasa saja hingga yang paling kotor. Saya heran awalnya, dan pertanyaan saya ini akan terjawab nanti. Ikuti terus kisah ini. hehe
            Rajeev pun memberi tahu saya untuk naik angkutan bernama auto (baca: Oto), biasa disebut bajaj kalo di Jakarta. Sekitar jam 10.00 waktu setempat, saya diantar ke ujung gang di daerah Bharat Nagar, New Friends Colony, dengan dibonceng motor gedenya untuk mendapatkan Oto. Daerah Bharat Nagar yang merupakan area kos-kosan mahasiswa ini adalah komplek muslim padat, yang lokasinya dekat dengan Universitas Jamia Milia Islamia. Salah satu universitas terbaik di India.
 
            Dengan membawa kopor, ransel dan tas kamera, tampaklah saya 100% sebagai orang asing yang layak mendapat harga mahal saat naik oto. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga orang baru datang. Oto pun meluncur dengan energi suara yang lebih keras dari energi geraknya. Delhi di pagi hari tampak begitu mirip dengan Indonesia. Ada banyak penjual di tepi jalan. Yang berbeda adalah banyaknya pejalan kaki dan binatang yang hidup bebas di jalan. Mulai anjing, kucing, monyet, tupai, sapi, dari burung dara hingga burung elang. Binatang sepertinya hidup nyaman di India tanpa takut dikandangkan bahkan dimakan.

            Sampailah saya di KBRI Indonesia. Masuk dengan tampang backpacker tapi membawa kopor. Tampang memang belum bisa diubah karena saya gak mau ambil risiko dapat harga yang tambah mahal saat naik kendaraan umum. Saya menunggu sebentar, lalu datanglah Mas Rozin. Mas Rozin ini adalah pacar dari sahabat saya, Dinda, yang tahun lalu ikut exchange juga ke India. Mas rozin pun mengaja saya naik ke atas, dan menemui bapak atase pendidikan yang ternyata adalah orang Surabaya.
           
            Bangunan KBRI Delhi ini termasuk luas. Di dalamnya seperti kompleks pemukiman. Terdapat mushola, lapangan badminton, lapangan tenis, ruang-ruang kantor, dan wisma-wisma untuk diplomat. KBRI Delhi terletak di Chanakyapuri, sebuah kompleks kedutaan yang tenang dan jauh dari kesan India seperti yang ada di televisi. Jarak antara kedutaan satu dengan kedutaan lain sangat berdekatan.

            Kontan saya disambut dengan berbagai tanggapan diplomatis. Di sana saya juga mengenal orang-orang baru. Pak Sohan dan Mas Habibi, staf atase pendidikan. Lalu tiba-tiba muncullah perempuan yang berusia hampir 60 tahun yang berbicara dengan suara keras. Dengan mata melotot, alis meruncing dan suara meninggi, wanita itu dengan tegas memberikan instruksi untuk staf di atase pendidikan. Hampir mirip acting seorang majikan memberikan instruksi terhadap babunya dalam pentas-pentas teater yang pernah saya lakukan. Lumayan kaget dengan gaya komunikasi beliau. Di benak saya langsung tergambar sosok setan jawa yang berasal dari gunung merapi, Mak Lampir.
            Ternyata surat pengajuan tempat tinggal yang saya ajukan dari Indonesia belum diterima oleh pihak KBRI. Sekali lagi saya harus membuat surat on de spot. Dengan birokrasi yang berbelit tentu saja. Saat makan siang, Mas Rozin mentraktir saya makan dengan puas. Mencoba berbagai masakan India dan berdiskusi tentang berbagai hal. Saat kembali, makanan dari Mas Rozin pun masih sempat saya bungkus dan dibawa balik ke KBRI. Akhirnya saya diberitahu bahwa kerja dimulai pada hari rabu saat Mitha, teman saya dari Indonesia datang.jadi saya masih punya sehari lagi waktu kosong.
            Yang menjadi masalah adalah saya tidak punya sim card India, sehingga tidak bisa menghubungi teman-teman India. saya juga belum menemukan India yang saya cari. India seperti di majalah National Geographic yang eksotis. Yang saya temui di sini justru, pegawai kantoran dengan pesuruh orang India. Bangga juga, karena di tempat inilah saya dipanggil Mam, dihormati layaknya (tante-tante) pejabat walaupun dari sisi kenyataan apalagi penampilan, jelas saya bukan siapa-siapa. Tapi bukan ini yang saya cari. Bukan.
            Hari semakin sore dan saya belum mendapat tempat tinggal. Kak Habibi, staf embassy bilang kalau saya boleh tinggal di sekre PPI. Tapi saya tidak tahu dimana letaknya. Tidak ada yang mengantar pula, dan parahnya kantor sudah tutup dan para staf muda yang biasa membantu saya sudah pulang. Shitt. Saya belum punya sim card!
            Hari sudah gelap dan suhu menurun drastis. Masa jauh-jauh ke India, tapi tidurnya di mushola. Karena hanya di Musholayang ada pemanas ruangannya. Jadi saya MEMUTUSKAN: daripada jauh-jauh ke India cuma dapat pengalaman kantoran, mending saya keluar sekalian. Saya akan LOST IN DELHI dalam arti yang sebenarnya.
            Pukul 21.00 malam itu saya keluar dari embassy di tengah suhu yang sangat dingin. Berjalan kaki di jalanan yang sangat sepi, karena pada saat musim dingin jarang ada orang yang keluar rumah jam segini. Kopor saya tinggal di mushola embassy, saya yakin aman. Saya masih berjalan hingga sekitar 2 km untuk menemukan oto di luar area Chanakyapuri. Saya putari Delhi malam itu dengan menaiki Oto untuk mencari money changer. Saya tahu tukang oto itu berbohong dan mengajak saya berkeliling ke tempat yang lebih jauh. Oto yang menggunakan argo ini pun membengkak. Tapi sudahlah, saya ingin melihat Delhi di malam hari. Tidak terlihat seorang perempuan pun. Di mana perempuan India?

            Setelah mendapatkan uang INR, saya minta diantar ke stasiun kereta api New Delhi. Saya berharap di sana dapat menaiki kereta ke sebuah kota asing, dan tiba di kota itu esok harinya. Namun, di stasiun, tidak ada kereta jarak jauh yang akan lewat. Hanya ada kereta jarak dekat dan kereta jarak jauh yang akan mengakhiri perjalanannya di sana. Di depan stasiun adalah kompleks backpacker internasional terkenal bernama Paharganj. Saya mencari warnet di Paharganj dan akhirnya bisa berkomunikasi dengan beberapa teman. Namun, memang saya berencana untuk LOST.

            Waktu sudah menunjukkan pukul 00.31, dan saya masih berputar-putar di area paharganj sendirian. Banyak yang menulis di blog, di malam hari area ini adalah salah satu area yang paling tidak aman untuk perempuan. Masa sih? Saya sih merasa biasa saja, apalagi saya sendirian. Saya bingung bagaimana para tuna wisma di sana bertahan hidup dengan suhu sedingin ini. Jangankan heater, rumah saja tidak punya. Hanya selembar selimut yang jauh lebih dingin dari sleeping bag yang biasa saya gunakan di gunung. Bersyukurlah kalian para gembel di Indonesia. Segembel-gembelnya kita, masih terasa seperti tinggal di surga. Tapi yang lebih membingungkan lagi malam ini adalah, BAGAIMANA SAYA BISA BERTAHAN HIDUP DI SUHU SEDINGIN INI?
            Seorang calo hotel membaw saya pada sebuah hotel di ujung gang paharganj. Bau dupa menusuk hidung saya. Hotel itu tampak sepi, kotor, dan lumayan mahal. Tapi karena saya butuh tempat menginap, dan saya sendirian. Ya sudahlah daripada kena hipotermia gara-gara kedinginan. Tak ada heater di hotel itu. Tapi ada air panas, televisi, dan selimut. Saya pun tertidur lelap dengan televisi yang masih menyala. TV news nya mirip sekali penyajiannya dengan TV One di Indonesia. Ah kangen Papa, yang selalu nonton news tiap pagi.
            Ketika terbangun di pagi hari, saya mendengar bunyi lonceng dan orang-orang yang berdoa. Saya segera checkout dan mengejar suara itu. Sepertinya ada kuil di sebelah. Ooo Tuhan, SAYA MENEMUKAN INDIA!


#Tunggu Lanjutan Ceritanya!

08 May 2012

Lost in Delhi: Cowok Brewok dan Cuban Rondho

            Berjuta titik-titik lampu Kota Delhi menyambut kedatangan saya dari atas awan. Penerangan dalam kabin peawat pun dimatikan, hingga yang terasa hanya keheningan. Ada ragu di luar sana. Ragu akan semua misteri, apa yang akan terjadi nanti. Ragu, ya ragu. Andai saya bisa kembali dan membatalkan perjalanan ini. Tapi saya sudah terbang di antara bintang.
            Pesawat mendarat dengan lancar pada pukul 20.00 waktu setempat. Tempat kedatangan internasional di Indira Gandhi International Airport pun terlihat lengang. Ini pertama kalinya saya pergi ke luar negeri. Tempat pertama yang saya tuju adalah imigrasi bandara untuk membuat Visa on Arrival. Terlihat beberapa orang membawa tas berjalan menuju pintu keluar bandara. Masalah pun terjadi, karena visa on arrival hanya berlaku 30 hari, sedangkan saya berada di India dihitung dari tiket pesawat saya adalah 31 hari.
            Di bagian imigrasi ini pun saya bertemu dengan dua orang Indonesia. Ketika saya bingung akan tinggal di mana, karena catatan saya yang berisi alamat KBRI (tempat tinggal sementara) tidak terbawa, mereka menyarankan saya untuk menulis “Embassy of Indonesia”. Dari sana saya tahu, bahwa lokasi tempat tinggal haruslah jelas sebelum pergi. Itu persyaratan mutlak imigrasi. Namun, orang-orang India di pelayanan visa on arrival ini sungguh baik. Mungkin karena lagi-lagi saya perempuan, dan sendirian. 

            Seorang pegawai perempuan dari maskapai yang saya tumpangi, mencari saya di bagian visa on arrival untuk memberitahukan bahwa kopor saya ada padanya, dia menawarkan untuk membawakannya. Begitu ramahnya dia, sehingga memberikan nomor contact maskapai untuk masalah rencana saya yang akan mengubah jadwal tiket pulang. Sekitar 30 menit kemudian, lolos lah saya dari pihak imigrasi. Selanjutnya adalah mencari teman yang saya kenal dari couchsurfing.org. Rencananya dia akan menjemput saya dan saya akan tinggal di rumahnya selama sehari sebelum saya pergi ke KBRI Indonesia. Tapi saya lupa meminta alamatnya yang di India, sehingga memang dia yang harus menjemput saya.
            Akhirnya saya bisa keluar dan mencari penjual sim card India. Namun siapa sangka, untuk membeli sim card di sini harus menyertakan pas foto, fotocopy paspor, dan tentu saja alamat tempat tinggal yang jelas. Tempat tinggal? Lha saya mau tinggal di mana? Saya tak tahu Rajeev tinggal di mana, alamat KBRI juga lupa saya bawa. Karena saya tidak bisa mendapatkan sim card itu untuk menghubungi teman saya, Rajeev, maka saya langsung mencari telepon umum terdekat.
            Berkali-kali saya hubungi Rajeev, tapi tak ada balasan. Mungkin dia sedang dalam perjalanan. Lalu tiba-tiba Rajeev membalas menelepon ke telepon umum itu. Dan dia ternyata sudah menunggu di luar pintu. Alhamdulilah…
            Wuzzzzzz, ketika keluar dari bandara, udara malam di Delhi yang hanya 12 derajat celcius membuat bulu kudu saya berdiri. Dari Surabaya yang panas, memang suhu seperti ini terasa begitu dingin. Tidak seberapa ramai, namun berjajar orang-orang India dengan membawa tulisan nama orang yang akan dijemputnya. Tapi tak ada nama saya. Ya iyalah, emang siapa saya. Tampaklah Rajeev dengan muka brewok dan perawakan tinggi besarnya, dengan celana dan sandal gunung. Kami pun segera melangkah ke parkiran sepeda motor dengan jarak hampir 500 meter. Saya harus menarik kopor, dan membawa tas ransel di belakang, dengan tas kamera di samping. Lumayan merepotkan untuk misi internship ini karena saya lebih terbiasa dengan ransel daripada koper. Tapi ya karena ini misi professional, saya coba menyesuaikan gaya sedikit lah. :D

            Di bagian belakang motor Rajeev, terdapat besi sebagai tempat untuk menaruh barang bawaan. Khas sekali motor ini memang sudah sering digunakan untuk berpetualang. Dia sudah sering pergi dari Delhi ke Ladakh bersama para traveler dari manca negara. Jalanan Delhi di malam hari yang lengang pada pukul 23.00 waktu setempat. Tampak jalan besar yang terlihat seperti jalan dari Jembatan Suramadu ke arah Surabaya Utara, atau jalan-jalan layang di sekitar Waru yang mengarah ke Sidoarjo. Ada truk-truk besar yang lewat. Rajeev yang bertampang serem ini pun sebenarnya adalah kutu buku baik hati dan hobi nyanyi. Terbukti suaranya sangat bagus saat bersenandung si atas sepeda motor. Dia mengambil master di komunikasi masa dan menjadi pembuat film freelance. Sehingga saya benar-benar yakin kalau style dia adalah hasil PENCITRAAN belaka. Itulah kesan awal saya terhadap dia.
            Dan yang paling penting ketika melintasi malam-malam di Delhi bersama Rajeev adalah, SAYA LAPAR DAN KEDINGINAN! Akhirnya kami memutuskan untuk makan di McD dekat rumah Rajeev. Jauh-jauh ke India, makannya tetap di McD. Hampir tidak ada perbedaan dalam penyajian menu-menunya.
            Sampai juga di rumahnya. Ternyata adalah sebuah flat yang berisi dua kamar. Dia tinggal di sana bersama teman kuliahnya, Tarun. Namun, pada hari itu Tarun tak ada di sana. Sehingga kamar milik Tarun yang lebih bersih kosong. Di kamar itulah saya tahu, siapa Rajeev sebenarnya, kesukaannya, dan pandangannya mengenai beberapa hal. Yang jelas, lebih tampan kalau jenggotnya dipotong pendek.
            Hari kedua di Delhi yang sangat tolol adalah, alarm saya berbunyi di pagi yang sangat dingin. Jam 7 pagi waktu setempat, saya terburu keluar dan ternyata langit masih gelap seperti jam 5 pagi. Saya bergegas kembali ke tempat tidur, dan melanjutkan istirahat saya. Entahlah, prinsip “traveling tidak untuk pindah tidur” itu lenyap ke mana. Udara dingin layaknya pagi di Blitar membuat saya malas bergegas. Homey. Suasananya mirip di rumah. :p
            Di tengah suasana di sana yang sangat dingin, saya tidak tahu harus mandi dengan cara apa. Tidak ada kran pemanas air, tidak ada kompor untuk memasak air. Atau mungkin orang-orang sudah terbiasa mandi dengan air sedingin ini. Saya memutuskan mandi dengan air kran yang rasanya bagai mandi pagi saat MK jurusan di Cuban Rondho ground paling atas. Menusuk kulit dan tulang saya.
            Rajeev yang baru bangun tidur sesaat setelah saya selesai mandi, langsung kaget dan berkata bahwa heaternya ada di bawah meja. Berbentuk elemen yang dicelupkan ke dalam ember. Oh, saya terbiasa tinggal di daerah panas yang tidak memerlukan air panas saat mandi. Kejutan kedua pagi itu adalah Rajeev memberi tahu saya, bahwa dia ada kuliah pagi ini, dan tidak bisa mengantar saya ke KBRI. Oh my… I’m lost in Delhi!


#Tunggu Lanjutan Ceritanya!
Powered By Blogger