Pages

22 April 2010

Keliling Surabaya II






saya tidak terlalu paham tentang sejarah,
saya juga tidak tahu
ada berapa nyawa yang gugur saat itu,
atau ada berapa banyak kata “dancok” yang diteriakkan arek-arek,
tapi yang jelas pernah terjadi sesuatu yang besar di sini,
mereka yang lebih tahu, gedung-gedung yang diam itu....


Saya kembali terburu-buru pagi ini, mengingat nobita Tsabita sudah menunggu di luar. Tampaknya pagi ini memang lebih terang dari biasanya, dan semoga ini hari yang luar biasa. Hmm...rasanya semua sudah siap, satu tas ransel berisi kamera lengkap dengan telenya, notes, dompet, ponsel, itu saja yang saya bawa...

Wow....ketika saya menuruni tangga, ternyata Bita sudah menaiki tangga menuju kamar saya (kok bisa?), oow ternyata ada mbak kos yang bukain pintu depan, trus dia masuk....

Hanya tinggal menunggu EM A YE GE YE (baca: maygy) dan kami pun siap berangkat. Tapi ternyata Maygy belum juga datang, mungkin terjebak macet gara-gara si Komo lewat.

Ya sudah, kami sarapan dulu. What!?...belum ada warung yang buka di sekitar tempat kos saya, sehingga saya dan Bita terus berjalan hingga akhirnya kami menemukan penjual soto di depan Pinlabs Unair. Sambil menunggu Maygy, semangkuk soto beserta es jeruk (minuman yang gak pernah absen) terhidang di meja. Tak lama kemudian maygy datang, dan kami pun larut dalam pembicaraan yang lumayan serius tentang IR-fest, awal yang bagus untuk pagi ini.

Kami kembali merumuskan rencana SHORT TRAVELLING (baca: mbolang) di kios soto itu. Wajah Bita tampak serius melihat Peta Keramatnya, “hmm...rek, kita nanti lewat jalan ini, trus ini, terus jalan kaki ke sini, lewat kya-kya, akhirnya sampe ampel.” Bita kembali melanjutkan pembicaraannya.“Kita nanti jalannya agak jauh rek, jadi aku bawa topi ini.” Kata Bita sambil mengeluarkan topi Unair dari ranselnya, yang diberikan kepada kami sewaktu daftar ulang beberapa bulan lalu.

Pagi yang cerah, dan kembali Jalan Airlangga ramai seperti biasanya. Ada beberapa penjual yang memenuhi trotoar di dekat Bank BTN, kios-kios fotokopi, mahasiswa yang berlalu lalang di sekitar pertigaan airlangga-karangmenjangan, dan saya pun mengantar maygy menaruh sepeda motornya di kos-kosan.

Rencananya kami akan menuju area kota lama Surabaya dengan menggunakan angkutan umum (baca: bemo) lalu menikmati panasnya surabaya dengan berjalan kaki. Lokasi pertama yang kami tuju adalah kawasan JMP. Langsung dengan menaiki angkot JMP dari jalan Airlangga lalu turun di sekitar mall JMP, dan dilanjutkan dengan berjalan kaki ke arah jalan kembang Jepun.

Obrolan seru tetap mewarnai hiruk pikuk kami selama di angkot, mulai dari kisah penerima beasiswa erasmus mundus, golongan darah B, Hitler, dan maygy yang terus saja berkata bahwa jalan yang dilalui angkot ini adalah jalan menuju tempat tinggalnya.

Terik matahari mulai menusuk wajah-wajah kami. Setelah turun dari angkot, kami dihadapkan dengan panggilan para sopir maupun tukang becak yang menawarkan jasanya, tapi kami memilih untuk terus berjalan kaki melewati jalan Taman Jayengrono menuju Jembatan Merah. Di hadapan kami ada gedung terbesar di area ini yang biasa disebut Gedung Internatio. Gedung ini aslinya bernama INTERNATIONALE CREDIT EN HENDELVEREENIGING ROTERDAM atau Rotterdam International Credit and Trading Association. Setelah sekutu masuk ke Indonesia pada akhir Oktober 1945, gedung ini menjadi markas pasukan brigade ke-49 Inggris dan sekarang menjadi milik PT Tjipta Niaga atau PT Aneka Niaga. Pada perjalanan saya dan Bita terdahulu, kami sempat berfoto-foto di daerah ini.



Gedung Internatio ini terletak di pojok Jalan Rajawali yang dulunya bernama HEERENSTRAAT dan Jalan Taman Jayengrono yang dulunya bernama WILLEMSPLEIN. Gedung ini didirikan pada tahun 1929 oleh IR.F.J.L. GHIJSELS dari biro "A.I.A" (ALGEMEEN INGENIEURS EN ARCHITECTEN).

Di seberang Gedung Internatio terdapat Gedung Cerutu yang terletak di jalan Rajawali. Gedung ini memiliki menara yang berbentuk seperti cerutu, sehingga orang di sekitarnya menamai gedung ini sebagai Gedung Cerutu. Gedung ini dibangun pada tahun 1916 oleh N.V. Maatschappij Tot Exploitatie van Het Technish Bureau Gebroeders Knauddan. Gedung ini dulunya berfungsi sebagai kantor dan gudang.



Kami melanjutkan perjalanan menuju Jembatan Merah ke arah Kembang Jepun. Tidak diragukan lagi sejarah tempat ini. Saat itu Gedung Internatio menjadi markas pasukan brigade komandan ke-49 Inggris, dan arek-arek Suroboyo berada di sekitar Jembatan Merah. Tembak-menembak sering terjadi antara kedua tempat itu. Pada tanggal 30 Oktober 1945, dengan menggunakan beberapa mobil, para anggota Kontak Komisi berusaha menuju gedung Internatio yang dituntut oleh arek Suroboyo agar dikosongkan, yang menurut persetujuan tentara sekutu harus ditarik mundur ke Tanjung Perak. Di antara para anggota Komisi itu terdapat Residen Soedirman, Doel Arnowo, T.D. Kundan, Brigjen Mallaby. Hari sudah mulai gelap ketika rombongan itu melalui tempat perhentian trem listrik yang terletak beberapa belas meter sebelah utara Jembatan Merah ke arah gedung Internatio. Di situlah mobil yang ditumpangi Brigjen Mallaby terdengar mengalami ledakan sekitar jam 20.30. Ia kemudian ditemukan tewas.



Dengan wajah gak karuan karena kepanasan, kami pun terus melanjutkan perjalanan menuju Kembang Jepun. Setelah menapaki sejarah yang berbau Eropa, kami memasuki area pecinan yang lebih terlihat sebagai perpaduan gaya antara China dan Belanda. Gapura Kembang Jepun ini dibangun dengan gaya tradisional China di tahun 1930-an. Gerbang ini dulu dirobohkan dan dibangun kembali saat diadakannya Kya-Kya, yaitu pasar makanan malam hari pada tahun 2005-2007.



Sepanjang trotoar Kembang Jepun digunakan untuk tempat berdagang, tepi ruas jalan juga dipenuhi mobil-mobil yang parkir, sedangkan di jalan utamanya, kendaraan ramai berlalu lalang, sehingga kami pun kesulitan untuk berjalan kaki. Kami harus berjalan di jalan utama dan jika trotoar kosong, kami berjalan di trotoar. Rasanya memang benar-benar tidak disediakan tempat untuk pejalan kaki seperti kami, apalagi terik matahari yang benar-benar tidak bisa diajak kompromi.

Tujuan kami selanjutnya adalah jalan Dukuh untuk menuju ke Ampel. Sepanjang perjalanan di Kembang Jepun, kami mencari di mana letak Klentengnya. Akhirnya kami tiba di jalan dukuh yang benar-benar terasa perpaduan suasana antara Belanda dan China.
Powered By Blogger