Pages

27 November 2012

South East Asia Trip: Vientiane dalam Kayuhan Sepeda


Setelah pulang dari sungai Mekong malam harinya, saya berbincang panjang lebar dengan backpacker lain yang menginap di dormitory ini. Saya tidak sempat menanyakan namanya, bahkan mengambil fotonya. Dia adalah wanita Jepang berusia sekitar 40an yang menjadi aktivis sosial di berbagai negara berkembang. Ibu yang mukanya mirip guru matematika saya ketika SMP ini berbagai pengalamannya tentang tempat-tempat yang harus saya kunjungi. Termasuk bagaimana cara mendapatkan tiket bus murah, bagaimana menyiasati traveling on budget, apa yang pertama harus dilakukan ketika sampai di tempat tujuan, bagaimana menyusun rencana perjalanan, rekomendasi dormitory mana saja yang murah dan layak untuk ditinggali, dan bagaimana pengucapan nama-nama kota di Indochina ini agar tidak salah ucap dan miskomunikasi dengan orang lain.

Ilmu yang diberikan ibu Jepang itu sangat membantu saya dalam perjalanan kali ini. Bagaimana tidak, saya datang ke sini tanpa persiapan apapun, hanya berbekal uang 3 juta di ATM. Bahkan keputusan untuk melanjutkan perjalanan ini saya buat kemarin ketika melihat situasi kondisi lingkungan, fisik, estimasi waktu dan finansial cukup untuk pergi ke Vietnam, kamboja, kembali ke Thailand dan Malaysia selama 10 hari. ibu ini juga sempat berkata tidak terlalu suka dengan jilom karena kebiasaannya merokok ganja. Semalaman saya kepikiran terus soal hal itu. Maklum, kehidupan normal saya di Indonesia jauh dari alcohol dan drugs. Di perjalanan ini untuk pertama kalinya saya mengenal marijuana atau ganja. Anehnya, Jilom juga tidak bisa tidur di ranjang sebelah. Dengan memaksakan diri akhirnya saya terlelap juga.

Pagi ketika saya bangun, lampu di dormitory ini sudah dimatikan. Sedikit bingung karena untuk pertama kalinya mengalami disorientasi tempat setelah bangun tidur. Ruangan ini sedikit gelap kalau pagi. Bangun tidur di dormitory ini serasa bangun tidur di rumah nenek di Kediri. Mungkin sudah hampir sepuluh tahun, saya tidak tidur di rumah itu. Jilom masih tidur nyenyak di ranjang sebelah. ibu Jepang juga masih tidur di ruang sebelah yang bisa saya masuki kapan saja karena memang antar ruang terhubung satu dengan lainnya. saya cek waktu di HP sudah menunjukkan pukul 8.30 waktu Laos.

Saya segera mandi dan kembali duduk di ranjang membuka kitab Lonely Planet untuk mencari berbagai kemungkinan perjalanan. Ruangan itu sedikit gelap, sehingga saya harus berpindah ke bawah lubang matahari sehingga bisa membaca dengan jelas. Tiba-tiba lampu menyala. Jilom sudah berdiri dri ranjangnya dan menyalakan lampu itu. Semacam hal-hal yang biasa dilakukan oleh ayah saya ketika di rumah, dan terjadi dengan orang asing di negeri asing.

Jilom langsung menggantikan saya di kamar mandi dan kami pun segera turun ke bawah. Astrid sudah menunggu di bawah dengan menggunakan rok batiknya yang dibeli ketika dia traveling ke Yogyakarta. Setelah menyantap pancake, kami pergi ke guesthouse di seberang jalan untuk menyewa sepeda dengan harga 20.000 kip Lao, atau sekitar Rp25 ribu.
Astrid, warga USA keturunan Taiwan. Keluar dari Pekerjaan, lalu Berpetualang
Ini tidak benar-benar pagi karena kami semua bangun kesiangan, sehingga jalanan pun sudah mulai panas. Namun kota ini begitu lengang, begitu santai, begitu lambat. 
Bersepeda Keliling Vientiane
Kota yang cocok untuk bermalas-malasan. Di kanan kiri jalan masih banyak bangunan berarsitektur eropa, mengingatkan saya akan semester awal kuliah yang harus mengikuti kelas bahasa Perancis di CCCL.

Wat Sisaket
Tujuan pertama kami adalah salah satu wat Sisaket, salah satu kuil yang dibangun pada tahun 1818 di Vientiane, yang jaraknya hanya sekitar 1 km dari guesthouse. Di kuil ini, kami juga bertemu dengan beberapa orang dari Perancis. Harga tiket masuk di kuil ini adalah 5.000 kip.

ratusan patung Budha di Wat Sisaket
Lantas kami melanjutkan perjalanan menyusuri pusat kota Vientiane dan berhenti di tourist information center untuk mengetahui tentang harga dan jadwal keberangkatan bus. Tak lupa di sana kami mengambil tourist map dan bertanya sedetail-detailnya tentang bus dari Laos ke Vietnam. Karena sore ini saya harus berangkat melanjutkan perjalanan ke Vietnam.
Jilom bersama turis-turis dari Perancis
Setelah puas mendinginkan badan di touris information center, kami pergi ke Patuxai. Dibangun mirip dengan bangunan serupa di Perancis. Namun karena dibangun di Vientiane, membuat kota ini tampak seperti Kediri. 11-12 lah dengan Kediri, dengan tingkat keramaian lebih tinggi untuk Kediri. 
Patuxai
Anak-anak SD di Vientiane. siapa ya pengarah gayanya :p?
Sungguh, kota ini adalah ibu kota negara. Namun jika dibandingkan di Indonesia, masih jauh lebih maju kota Kediri. Padahal negara sebelah, yang hanya dibatasi oleh sungai Mekong, mempunyai ibu kota yang luar biasa. Bangkok lebih maju, dan lebih teratur daripada Jakarta. Bangkok mempunyai MRT, Subway, bus trans Bangkok, yang menunjukkan bahwa teknologi dan tata ruang kota menjadi sesuatu yang patut dibanggakan.
Jalanan di Pusat Negara Laos yang Sangat Sepi
Kami memarkir sepeda di seberang jalan dan mulai memasuki Patoxai. Ada beberapa lantai yang harus kami naiki. dari puncak bangunan ini, kami bisa melihat sekeliling kota Vientiane. Patoxai ini dibangun sekitar tahun 1958 untuk mengenang jasa pahlawan yang telah gugur dalam merebut kemerdekaan dari Perancis. Di seberang jalan ada kantor pemerintahan LAO PDR (nama resmi negara Laos), bisa dibilang 11 12 dengan kantor walikota Blitar.

Pusat Kota Vientiane, Tampak dari Puncak Patoxai
Lepas dari patoxai, kami melanjutkan perjalanan ke That Luang area, namun tepat pada pukul 13.00 gerbang masuk area ini tutup karena istirahat makan siang. Kami pun hanya berputar-putar lalu mencari tempat makan yang sejuk.
That Luang, stupa emas lambang negara Laos
Panas yang menyengat tak meruntuhkan niat kami untuk berputar-putar kota Vientiane. Di ujung jalan ini ada lambang negara Vientiane yang tercetak pula dalam mata uangnya. Yaitu That Luang stupa, sebuah stupa budha yang ditutupi oleh emas. Tiket masuk ke sana seharga 5.000 kip, namun pemandangan yang kami dapatkan sangat jauh dari yang diharapkan. Kami sangat ragu apakah itu benar-benar emas, atau hanya bangunan yang di cat warna emas. Bangunan lambang negara ini begitu tidak terawat, kusam dan bahkan dengan museum Bung Karno di Blitar saja tidak ada apa-apanya.
Jilom dan Astrid, Tidur Siang di Halaman That Luang

 Karena tempat ini begitu sepi, tenang, dan mirip kondisi di belakang rumah, yang kami lakukan adalah tidur siang di atas rumput di bawah langit yang sedikit lebih ramah. Lelah juga setelah berjam-jam mengayuh sepeda pada tengah hari. Setelah bangun dari tidur siang yang jarang saya lakukan semenjak lepas dari Indonesia, badan pun terasa lebih rileks. 
The Sleeping Budha di Vientiane
kami pun keluar dari area ini dan masuk ke kuil budha tidur. Mengingatkan saya akan patung serupa yang ada di Mojokerto. Setelah selesai berfoto, kami pun memutuskan untuk pulang ke guesthouse karena bus saya ke Vietnam berangkat jam 5 sore. Setelah saling mengucap salam, kami pun berpisah di pertigaan settathirat road. Astrid ke hotelnya, sedangkan saya dan Jilom ke guesthouse kami.

South East Asia Trip: Empat Ksatria Mekong


Siang di Vientiane begitu lembab dan terik. Semacam Sidoarjo atau Surabaya, tapi secara kuantitas jauh lebih sepi. Sesepi kota Blitar yang terletak ribuan mil jauhnya di sana. Oh, apa kabarnya bapak dan ibuk?
Suasana Settathirat Road, Vientiane, Laos
 Saya memilih dormitory seharga 100 bath Thailand (mata uang Thailand masih bisa digunakan di Laos, tapi tidak di Vietnam!) di kawasan pusat backpacker Vientiane. Dormitory adalah semacam kelas hostel atau guesthouse, yang menyediakan banyak ranjang dalam satu ruangan, sehingga kita harus berbagi ruangan dengan orang asing. Cukup menarik karena saya berpetualang sendirian, dan kebutuhan untuk berbincang dengan teman dari berbagai dunia mendesak untuk disalurkan. Bukankah itu esensi traveling?

Di dormitory Sabaidy Guesthouse, tempat saya menginap ini, saya berkenalan dengan ksatria pertama. Dia tampak duduk muram di pojok tempat tidur. Awalnya saya mengira dia adalah orang Jepang karena tidak terlalu banyak bicara dengan backpacker lain. Tapi ternyata sewaktu saya ajak berkenalan, tampaklah wajah westernnya sedikit lebih gelap karena terbakar matahari. 

Jilom, Ksatria dari Avegnon
Namanya Guillaumme (ucap: Jilom). Dia seorang solo traveler sama seperti saya. Pemuda tampan ini, lahir dan besar di Avegnon, Perancis selatan dekat Marseille. Keluar dari pekerjaannya sebagai buruh pabrik di Perancis dan memutuskan untuk berkeliling dunia. Sesaat setelah berkenalan, langsung saya tawari untuk makan siang (bayar sendiri2). Dan dia langsung mengiyakan. Horee teman pertama, teman sekamar yang tampan :o

Setelah mandi, saya pun berangkat mencari warung makan bersama Jilom, dan menemukan depot masakan China. Ya setidaknya lebih baik karena saya butuh asupan nasi untuk petualangan hari ini. Jilom menceritakan kehidupannya, putus cintanya, dan keinginannya untuk membeli sepeda motor dan kembali berkeliling Indochina. Lalu tak segan dia menanyakan kepada saya tentang rencana saya esok hari. Dia menawarkan ide bagus untuk menyewa sepeda dan keliling Vientiane naik sepeda.

Buku yang dibawa Jilom ini menarik mata saya, lonely planet. Sejak awal saya memang ingin membeli buku ini karena saya sama sekali buta tentang laos dan negara-negara yang akan saya tuju. Apakah saya akan melanjutkan perjalanan ke Vietnam, atau harus balik lagi ke Thailand. Uang pas-pasan, jadwal pesawat harus tepat waktu, dan rute-rute yang tidak bisa dibayangkan jarak tempuhnya. Sudahlah, biarkan angin membawa langkahku.
Settathirat Road, Vientiane, Laos
Akhirnya saya berpisah dengan Jilom di guesthouse. Dia mengantarkan saya ke guesthouse setelah makan siang, sebelum dia pergi menuju kedutaan untuk mengurus sesuatu yang berkaitan dengan imigrasi. Saya pun memutuskan untuk berkeliling area sekitar guesthouse ini dengan berjalan kaki.
salah satu kuil di tepi sungai Mekong
Banyak bangunan dengan ornamen berwarna oranye, semacam wat atau kuil yang bentuknya tidak jauh berbeda dengan kuil-kuil di Thailand. Puluhan pohon kelapa tumbuh di sekitar perumahan penduduk, lebih menunjukkan suasana “desa”, padahal kota ini merupakan ibu kota negara. 

Selain menggunakan bahasa Laos, tulisan formal di kantor-kantor dan petunjuk jalan, masih menggunakan bahasa Perancis. Mirip di Yogyakarta yang menggunakan tulisan Indonesia dan tulisan Jawa kuno (Ha Na Ca Ra Ka). Hal ini karena dulunya negeri-negeri Indochina ini adalah jajahan Perancis, banyak juga café Perancis. Kata Jilom, orang-orang Laos berusia 50 tahun ke atas, masih fasih menggunakan bahasa koloninya. 

Petunjuk Jalan di Vientiane Ditulis dalam Dwi Bahasa
Dan di seberang jalan, saya menemukan took buku bekas dan menemukan buku yang saya cari, LONELY PLANET!

Lima ratus meter di depan mata terdapat sungai besar. Ternyata inilah sungai Mekong. Sungai yang namanya hanya saya baca di buku IPS SD, atau buku Geografi SMP. Sekarang saya di hadapannya! Di area sungai ini merupakan area backpacker, yang artinya pusat hostel dua dollar hingga hotel berbintang lima. Perbatasan Laos dan Thailand dipisahkan oleh sungai mekong ini. Di seberang sana, ada negara lain yang ibu kotanya begitu maju. Negara yang saya tinggalkan beberapa jam lalu.
Di Tepi Sungai Mekong
Di tepi sungai Mekong, terdapat semacam lapangan bermain, biasanya anak-anak sekolah bermain bola di sini saat sore. menjelang malam, banyak pedagang yang menata dagangannya untuk pasar malam. Hal yang mengejutkan adalah keberadaan bendera komunis palu-arit. Sebagai seorang neo-marxis dan anti kapitalis, keberadaan bendera ini sangat menarik perhatian saya.
bendera komunis di sebelah bendera Laos
Hingga sore menjelang, saya memutuskan untuk duduk sambil membaca lonely planet yang saya pegang. Di tepi sungai Mekong inilah saya menyususn rencana perjalanan saya untuk sepuluh hari ke depan. Beberapa pemuda bermain bola di lapangan dekat tiang bendera di tepi sungai ini. Beberapa orang juga hanya duduk-duduk sambil menanti sunset.
Sunset di Sungai Mekong
Tiba-tiba ada seorang pemuda Jepang yang meminta saya untuk memotret dirinya. Namanya Hiro, dan kami pun bercakap-cakap tentang solo traveler. Ceritanya cukup menarik, dia seorang mahasiswa yang menabung dan bekerja keras mendapatkan uang untuk liburan ini. Yep ksatria kedua, cowok lucu dari Jepang. (sayang gak ada foto muka dari depan). Ksatria dalam konteks ini melambangkan "solo traveller" yang secara tidak sengaja bertemu dan berkawan, hingga tidak ingat bahwa dia datang ke kota ini tanpa seorang teman.

Sesaat kemudian, datanglah seorang gadis berwajah asia bernama Astrid. Dia adalah gadis keturunan Taiwan yang besar di Amerika Serikat. Gadis cerdas, cantik, nan gaul ini akhirnya menginterupsi pembicaraan kami, dan saya pun menawarinya untuk bersepeda bersama keesokan harinya. Ah yang benar saja, kami yang baru kenal beberapa menit yang lalu di tepi sungai Mekong, langsung bercakap-cakap bak teman SMA yang sudah 10 tahun tidak bertemu. 

Hiro dan Astrid sibuk menawar barang
 Di sisi sungai bagian utara, ada night market yang menjual souvenir khas Laos. Di sini kami menemukan barang-barang yang sangat murah. Mungkin karena bosan menunggu Astrid yang lama melihat-lihat, Hiro pun akhirnya pergi lebih dulu dan meninggalkan kami berdua. Malam pun kami habiskan dengan makan mie dan minum beer khas Laos. Namanya Laobeer, semacam bir nasional yang rasanya sama dengan bir kualitas dunia, hanya saja harganya lebih murah (di kamboja bir merk ini ternyata jauuuuuuh lebih murah). Janji pun dibuat. Besok jam 9 pagi, saya, Astrid dan Jilom akan bersepeda keliling kota Vientiane. Mau ikut?
Suasana Night Market di Tepi Sungai Mekong

31 October 2012

South East Asia Trip: Menyeberang Perbatasan Thailand-Laos


Tiket itu saya beli di stasiun kereta Hua Lamphong, Bangkok, sehari sebelumnya. Hanya perlu menaiki MRT ke terminal Hua Lamphong, selama 15 menit. Dan ternyata pintu keluar 3 terminal MRT Hua Lamphong itu sudah merupakan wilayah stasiun kereta Hua Lamphong. Sudah, tidak usah cemburu. Transportasi di Bangkok tidak perlu dibandingkan dengan Jakarta atau Surabaya. Sama seperti membandingkan langit dan bumi.
Stasiun Hua Lamphong

Saya membeli kereta ekonomi kelas 2 dengan tujuan Nongkhai, karena sudah terbiasa dengan perjalanan jauh, sehingga tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk menaiki kereta sleeper yang biasanya dinaiki pelancong bule. Mengingatkan saya akan perjalanan beberapa tahun lalu, naik kereta api dari Bandung ke Blitar sendirian. Kereta dari Bangkok ke Nongkhai ini seharga 253 Bath atau sekitar Rp 80rb.

Dengan tergesa saya berlari ke stasiun, berharap kereta itu masih menunggu saya. Maklum, siang harinya tergiur ajakan Fany (teman sekamar) untuk berkeliling lagi melihat Grand Palace dan Wat Pho. Saya juga harus memikirkan dimana tempat untuk menitipkan barang-barang formal bekas acara APMUN 2012 sebelum berangkat berpetualang kali ini.
Akhirnya saya sampai di stasiun Hua Lampong. Dan kereta itu masih menunggu saya hingga ganti saya yang harus menunggu kereta itu berangkat. Karena keberangkatannya terlambat 30 menit dari jadwal semula. Perlahan kereta itu meninggalkan Bangkok. Oh Bangkok yang ramai. Bangkok yang membuatku patah hati.
gerbong kereta Bangkok-Nongkhai
Ternyata gerbong ini sepi sekali. Karena banyak backpacker atau wisatawan asing lebih memilih untuk menaiki gerbong belakang, gerbong sleeper yang ketika dinaiki sudah langsung dapat digunakan untuk berbaring. Hanya terlihat seorang pria western berusia akhir 40an di kursi belakang saya. Pagi itu matahari terbit dengan begitu mengesankan, hingga saya tak sanggup untuk memotret dan membaginya dengan orang lain. Hanya mengikuti alur. Perlahan kereta Bangkok-Nongkhai memasuki pinggiran Thailand. Bapak-bapak berwajah western yang duduk di belakang saya pun sudah turun.
nongkhai
Pukul 10.45, kereta dengan gerbong sangat panjang ini pun sampai di Nongkhai. Selanjutnya saya harus cek passport untuk meninggalkan Thailand. Tidak dipungut biasa sepeserpun, dan hanya harus membeli tiket menyebrang perbatasan ke Thannaleng sebesar 20 bath untuk kereta kelas 3. Karena hanya itu satu-satunya kereta yang tersedia. Kalau tidak salah lihat, ada bendera Indonesia dan Malaysia di perbatasan Thailand dan Laos, juga ada bendera kedua Negara dan bendera ASEAN. Wow.
Stasiun Nongkhai, perbatasan Thailand-Laos
Sesampainya di Thannaleng, saya berpikir harus menuju imigrasi untuk membuat Visa on Arrival. Surprise! Ternyata tidak perlu visa on arrival untuk pemegang paspor Indonesia. Sehingga uang saku saya tidak berkurang. Horeee!!!! Hanya perlu mengisi form imigrasi. Menunggu 3 menit. Dan, WELCOME TO LAOS…
Setelah mendapatkan stempel imigrasi, saya pun mencari mencari mobil carteran untuk mengantarkan saya ke pusat kota. Lewat tengah hari, cuaca di Laos ini begitu panas dan lembab, mirip Sidoarjo mungkin. Baju saya pun penuh dengan keringat. Sesaat menunggu, ada 3 backpacker dari Belanda dan US yang bias saya ajak sharing mobil carteran.
pemandangan Laos di Siang hari.
Hahaha ternyata pemandangan di Laos ini tak jauh berbeda dengan pemandangan di Blitar Selatan, khususnya di sekitar sungai brantas. Memasuki sekitar sungai Mekong. Terdapat banyak café dan bar, juga guest house seperti di khaosan road Bangkok. Area backpacker yang berarti easy to get everything. Saya memilih untuk tinggal di dormitory yang berarti harus berbagi ruang dengan lawan jenis. Namun, menurut saya, itu adalah ide yang tepat sehingga saya tidak harus sendirian sepanjang waktu dan bertemu dengan sesama backpacker untuk berbagi cerita. Saya tinggal di  Sabaidy Guesthouse, settathirat road 115, Vientiane. Seharga 100 bath perhari yang terletak di pusat backpacker dan hanya berjarak sekitar 500 m dari sungai Mekong.
Menanti Senja di Tepi Sungai Mekong










Powered By Blogger