Pages

23 November 2017

South East Asia Trip: Menyeberang Perbatasan Laos-Vietnam



Setelah mengembalikan sepeda sewaan, dengan menggunakan sim-c ku sebagai jaminan, kami berjalan  ke penginapan masing-masing. Aku, Gilom, dan Astrid berpisah di perempatan Settathirat Road. Kebetulan Gilom tinggal di Guesthouse yang sama denganku, jadi kami berjalan beriringan. Alhamdulillah, hujan tidak turun di sini. Berbeda dengan kehidupanku di Thailand yang selalu berbasah-basah dengan air hujan.
            Ibu Jepang yang tinggal di kamar sebelah memberitahu ku bahwa membeli tiket bus di terminal jauh lebih murah daripada membeli lewat travel agen yang ada di hostel atau hotel. Dan benar saja, aku mendatangi pusat informasi untuk menanyakan ini-atas saran  dari ibu Jepang itu. Beliau juga menyarankan aku untuk mengunjungi beberapa kota di Vietnam, seperti Hanoi, Hue, Danang, Na Thrang, lalu Ho Chi Minh City.
            Otakku terus berpacu. Ada beberapa hal yang harus aku pikirkan karena uangku terbatas, dan waktuku juga sangat amat terbatas. Aku sudah membeli tiket pesawat untuk kembali ke Indonesia dua minggu lagi. Sedangkan penerbanganku ke Indonesia berangkat dari Malaysia. Sekarang posisiku di negara Laos. Padahal aku ingin ke Vietnam, lalu ke Kamboja, kembali ke Thailand baru ke Malaysia. Artinya, untuk menuju Indonesia, aku harus menempuh rute darat yang melewati empat negara.
            Aku tak tahu berapa waktu tempuh perjalanan ini. Apakah bus akan melewati jalanan macet atau aku tersesat. Aku harus mengatur semua. Oh ini bukan liburan kawan. Teman-temanku di Surabaya sana sudah memulai kuliahnya. Dan aku, memikirkan bagaimana bisa menggapai tempat-tempat terbaik, dan pulang ke Indonesia tepat waktu. Intinya, aku ingin meraup pengalaman yang banyak, dengan uang dan waktu sedikit. Serakah? Ya!
            Setelah sampai penginapan, ibu Jepang-yang sangat membantu mengarahkan perjalananku memberitahu untuk menggunakan bus hop on-hop off. Artinya kita bisa naik turun bus di beberapa kota dengan satu tiket bus. Beliau juga menyarankan satu hotel dengan dormitory di Hue, namanya Binh Duong dibaca Binjong.
“Turun dari bus, nanti langsung ketemu tukang ojek. Kamu percaya aja sama dia. Ya tawarlah, nanti dia bakal nganterin kamu ke hotel-hotel itu.” Beliau memberikan saran dengan bahasa Inggris yang cukup fasih.
            Setelah berpamitan dengan Gilom, aku membeli dua kaleng bir khas Laos sebagai oleh-oleh kawa di Surabaya. Aku pun menawar tuk-tuk di dekat guest house untuk menuju terminal utama. Ada minuman keras mahal di bangku penumpang, dan sepertinya sopir tuk-tuk ini sedikit mabuk. Gaya bicaranya aneh, badannya agak tidak terkontrol. Namun mabuk bukanlah pemandangan yang asing di negeri Indochina ini.
            Viantiane ada di belakang sana. Aku mengawasi senja perpisahan ini melalui tuk-tuk yang mengantarkanku ke terminal. Kota ini hampir sama dengan kota Kediri. Bahkan kota Kediri lebih ramai. Hamparan sawah mengingatkanku akan kampung halaman. Aku akan melanjutkan perjalanan ini ke Vietnam. Namun aku tak tahu kota mana yang harus aku tuju. Hanoi, Hue, atau Danang. Ah yang penting sampai di terminal dulu. Semoga tidak salah langkah.
            Setelah gontok-gontokan dengan sopir tuk-tuk karena aku tidak mempunyai uang kecil, dan dia tidak mempunyai uang kembalian, aku akhirnya pergi ke money changer. Oh iya, satu informasi penting. Uang Thailand bisa digunakan di Laos, tapi tidak bisa digunakan di Vietnam. Bodohnya, informasi itu baru aku dapatkan saat di Vietnam nanti.
            Di money changer aku bertemu seorang pemuda yang akan menuju Hanoi, aku berbicara dengannya yang kebetulan fasih berbahasa Inggris. Namun setelah melihat bus tujuan Hue, ku membatalkan niatku. Aku tukar tiket Hanoi yang sudah kubeli, dan aku membeli lagi tiket ke Hue. Hue? Kota yang asing, lebih dekat dengan Vientiane, dan kota yang tak ada dalam imajinasiku. Karena biasanya landmark dari Vietnam adalah Hanoi dan Sapa yang terkenal dengan gunung-gunung dan laut layaknya di serial kung fu China yang biasa ku tonton waktu kecil dulu.
Ini adalah perjalanan malam. Pertama kalinya aku  menaiki sleeper bus. Bus jenis ini tidak ada di Indonesia. Tempat duduknya “langsung slonjor”, dan alas kaki harus dilepas. Pemandangan di luar hanya terlihat samar. Aku mencoba untuk tidur, tapi kelak kelok jalan ini mengguncang perutku. Tidak mudah berbaring di dalam bus.
Setelah matahari bersinar, barulah kami sampai di perbatasan Lao Bao- Savanaket. Ternyata tidak ada satu pun dari orang-orang di bus ini yang menggunakan bahasa Inggris. Mereka semua penduduk lokal, karena biasanya turis asing menggunakan bus dari travel. Ternyata lagi, paspor mereka sudah dikumpulkan  jadi satu oleh sopir bus dan diantarkan menuju kantor imigrasi Lao Bao, kantor imigrasi milik Laos. Sedangkan aku yang tidak tahu apa-apa masih bingung di tempat perhentian ini. Setelah aku masuk ke toilet milik pedagang yang dijadikan perhentian bus, aku ditawari tukang ojek lokal yang mau mengantarkanku ke imigrasi Lao Bao untuk mendapatkan stempel “telah meninggalkan Laos”.
Tampak pegunungan di kanan kiri. Mirip daerah Ngebruk-Kesamben. Daerah antara Blitar Malang yang selalu kulewati setiap dua minggu. Suasana kantor imigrasi pun lengang. Tampak beberapa orang menyelipkan uang ke dalam paspor mereka. Sedangkan aku, turis gadungan yang menggunakan kesempatan untuk berkelana sendirian setelah lomba di Thailand, memilih untuk sok cool. Hanya menyerahkan paspor dan formulir departure. Petugas imigrasi itu hanya bergumam, “oo dari Indonesia”, dan semua langsung beres.
            Setelah menunggu beberapa lama, bus pun berjalan melintas. Kami naik lagi hingga ke imigrasi selanjutnya, yaitu imigrasi Savanaket milik Vietnam. Tampak beberapa orang juga menyelipkan uang mereka ke dalam paspor. Sekali lagi, aku bertampang cool. Dan petugas imigrasi itu langsung memasang tampang tidak garang. Terus terang, ketika memasuki imigrasi Vietnam ini aku merasakan aura garang. Aura menyeramkan dengan kantor imigrasi yang dijaga oleh tentara bersenapan lengkap. Daerah ini sepertinya juga menjadi daerah pengembangan militer Vietnam.
            Ketika aku mencoba memotret, langsung ditegur oleh seorang tentara bersenapan. Maklum saja, Vietnam adalah negara berkembang-mendekati maju, sedangakan Laos adalah negara berkembang-mendekati miskin. Bus berhenti cukup lama di perbatasan, mungkin menunggu penumpang lain yang masih berurusan dengan proses imigrasi. Seteah semua selesai, barulah bus berangkat. Tiga jam kemudian, bus ini berhenti lagi di sebuah warung makan. Aku sama sekali tidak tertarik. Apalagi banyak yang bilang, orang Vietnam itu jutek-jutek. Berdasarkan pengalaman suram mereka selama perang dengan Amerika Serikat, orang Vietnam memang dikenal pemberani. Entahlah, apakah selepas dari sini aku akan kehilangan keramahanku karena proses adaptasi ini.
            Aku sibuk melihat peta di buku lonely planet bekasku. Memang jika kita ingin menghilang, buang buku ini. Tapi jika kita ingin efisien, pakailah buku ini. Kurang beberapa kilometer lagi, untuk pak kondektur sudah tau tujuanku. Akupun mencoba berbicara dengan penumpang lain, sudah sampai tujuanku. Sebuah kota budaya yang tata kotanya mirip dengan Kota Malang. Hue, tempat dinasti Nguyen berasal.


0 comments:

Post a Comment

Kasih comment plis....

Powered By Blogger