Siapapun yang bercita-cita untuk tidak menebak dan meramal tetapi untuk menemukan dan memahami, siapapun yang bertujuan untuk tidak memikirkan mimik dan kehebatan dunia miliknya tetapi untuk meneliti dan menguak sifat dari dunia itu, harus menghadapi kenyataan apapun.
F. Bacon, 1620
07/02/2010 16.45 WIB @ Stasiun Blitar
Jalinan gerbong kereta ini masih banyak yang terlihat kosong dan kebetulan saya mendapatkan tempat duduk di dekat pintu kereta yang berisi dua orang dalam satu bangku. Kereta ekonomi matarmaja seharga Rp.37.000,00 jurusan pasar senen pun melaju, seperti lamunan saya yang mulai berlari tentang nanti, ya nanti, bagaimana saya nanti. Senja mengiringi kepergian kereta ini, tampak hamparan sawah, hijau dan terkena sentuhan merah lembut sang rona di ufuk barat, sangat indah.
Orang yang duduk sebangku dengan saya dan juga dua orang yang duduk di depan saya, semua berasal dari Blitar dan semua akan turun di jakarta, kecuali saya tentunya.
Dingin angin sore tak hentinya menusuk memori otak saya, tiba-tiba teringat bagaimana rencana ini tersusun,Sejak kecil saya selalu ingin keliling dunia, dan saya akan keliling Indonesia lebih dulu. Mungkin jawa, keliling pulau jawa yang pertama, paling mudah dijangkau, saya akan keliling jawa langsung mungkin selama 2 minggu atau lebih.
Pada awalnya semua hanya rencana kosong, mimpi yang tak berisi, hingga seminggu sebelum keberangkatan, saya bertemu dengan Lady Dengker (Sasindo UGM’09) dan Mbak Ajeng (geofisika UGM’08), teman seperjuangan semasa SMA. Mereka mengajak saya untuk pergi ke jakarta, well tanpa pikir panjang langsung saya ‘iyakan’.
Lady mengajak saya ke jakarta tanggal 9 Februari dan tanggal 13 Februari saya sudah harus berada di Blitar karena ada acara kebudayaan di sela-sela perjalanan yang harus saya ikuti, sehingga saya harus menyesuaikan jadwal kereta dan jadwal saya, maka saya memutuskan:
-saya akan memulai perjalanan ini pada tanggal 7 Februari dengan dan dibagi menjadi 6 bagian, yaitu: Blitar-Jakarta lewat jalur utara, Jakarta-Blitar lewat jalur selatan, Blitar-Banyuwangi, Banyuwangi-Surabaya, Surabaya-semarang, Semarang-Blitar.
-semua perjalanan jarak jauh ditempuh dengan menggunakan kereta api
-saya akan melakukan perjalanan ini sendirian, dan membuat janji untuk bertemu Lady dan Mbak Ajeng di stasiun Jatinegara Jakartakarena sebelum sampai jakarta, saya berencana untuk transit di sebuah kota, lagipula mereka berangkat dari Jogjadan saya dari Blitar.
-saya akan transit di beberapa kota untuk melakukan wisata atau sekedar hunting foto, kota untuk transit adalah cirebon, bandung, dan yogyakarta
07/02/2010 21.30 WIB
“Dinar!”, tiba-tiba terdengar ada yang memanggil nama saya. Panggilan itu telah membuyarkan lamunan saya, dan kembali saya melihat luar, hari pun sudah mulai gelap.
Hmmm ternyata suara itu berasal dari dekat pintu kereta. Teman lama saya dari Blitar, Anggoro (Pend..olahraga UNS’09) ternyata juga berada di kereta ini, dia akan turun di Stasiun Jebres Solo. Kami pun bercakap-cakap sebentar sebelum akhirnya dia turun.
Ada sedikit kecemasan dalam pikiran saya, karena sebelum saya tiba di jakarta, saya akan transit di kota cirebon. Masalahnya, saya tidak bisa menemukan peta cirebon di internet karena kota itu terlalu kecil, mungkin sebesar kotamadya Kediri.
Saya hanya berbekal pengetahuan saya tentang beberapa situs sejarah di kota itu, tanpa tahu bagaimana akses untuk mengunjunginya. Saya akan tetap maju karena saya sudah teranjur di kereta dan berangat lebih awal daripada Lady dan Mbak Ajeng.
8/02/2010 05.00 WIB @ Stasiun Prujakan Cirebon
Untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Kota Cirebon, tanpa peta, tanpa kenalan, tanpa tujuan, hahahaha. Lokasi pertama yang saya tuju adalah toilet dan musola Stasiun Prujakan Cirebon.
Karena saya naik kereta ekonomi, kereta yang saya naiki berhenti di stasiun Prujakan bukan Stasiun Kota, karena stasiun kota hanya digunakan oleh kereta bisnis dan eksekutif. setelah membersihkan diri dan mengqodho solat, saya pun sudah siap berpetualang di Cirebon.
Saya berpikir bahwa di Stasiun Cirebon pasti ada peta kota dan ya ya ya ya saya menemukannya! Tergantung di dinding dengan rapi! Memang bukan peta kertas yang bisa saya pinjam, melainkan peta besar, sehingga saya harus memotretnya agar bisa dilihat sewaktu-waktu.
Di peta itu saya bisa melihat beberapa tempat wisata di Cirebon yang pernah saya baca di internet. Hmm sepertinya lumayan jauh dari Stasiun Prujakan tempat saya berdiri sekarang, bagaimana cara untuk ke sana? Saya harus ke luar dan melihat kendaraan apa yang tersedia.
Ternyata di luar stasiun gerimis menyerbu saya, hanya ada beberapa becak, dan sedikit angkot yang lewat, oh angkot di Cirebon ternyata menggunakan kode, tidak menggukan nama daerah yang jelas seperti angkot di Bandung atau di Malang. Hanya kode-kode seperti Aa, B3, D4, dan kode-kode lainnya. Ya hampir mirip angkot di Surabaya lah.
Arloji saya menunjukkan pukul 05.30 WIB, hanya terlihat beberapa anak berseragam sekolah, yang mungkin ada pendalaman materi pagi hari di sekolahnya sehingga masuk sekolah lebih awal. Saya duduk sejenak di emperan stasiun untuk merilekskan kaki sembari memakan beberapa roti yang saya beli ketika di Blitar.
Berpikir, berpikir, dan berpikir, bagaimana saya menuju kompleks pariwisata yang ada di dalam peta ini. Saya tidak mungkin menggunakan becak karena lumayan jauh dan tarifnya yang tentu saja mahal! Dan tidak ada taksi di Cirebon!
06.00WIB
saya memutuskan untuk menghentikan angkot yang lewat, dan bertanya,” Lewat kanoman pak?” Kanoman adalah pasar paling besar di Cirebon yang letaknya ada di depan keraton kanoman Cirebon. Ternyata menurut bapak itu untuk pergi ke Kanoman saya harus oper angkot 2 kali, wwwwww...gimana ini....?
Kembali saya melihat peta, lokasi kawasan pariwisata Cirebon terletak di ujung timur kota dan ternyata hanya lurus dari Stasiun Kota. Oke, saya harus pergi ke Stasiun Kota, pasti ada angukatan untuk ke sana. Beberapa kali saya smenghentikan angkot yang lewat, dan beberapa sopir memberitahu untuk naik angkot D6. Oke, ada angkot D6 yang lewat. berangkat!
Tiba juga di Stasiun Kota Cirebon, jauh lebih besar dari Stasiun Prujakan dan saya sambung perjalanan ini dengan berjalan kaki menuju kompleks wisata sejarah Cirebon. Memang lumayan jauh, sekitar 4 kilometer, tetapi hari masih pagi, gerimis sudah reda walaupun mendung masih menyelimuti, suasana yang tepat untuk berjalan kaki.
07.00 WIB @ Pasar Kanoman
Ramai sekali pasar ini, sulit sekali bagi saya untuk mengeluarkan kamera. Jika dilihat, di pasar ini banyak sekali ditemui beberapa barang khas Cina, seperti pernak-pernik lampion, manisan dan kue keranjang, dan alat-alat untuk sembahyang. Saya terus masuk menerobos pasar itu, karena letak Keraton Kanoman ada di balik Pasar Kanoman.
Terlihat beberapa tembok yang mengelilingi keraton ini, di sepanjang tembok terlihat hiasan keramik Cina karena kabarnya dulu sang pendiri Cirebon memperistri putri dari Cina, dan sang putri membawa keramik dari negerinya sejumlah 20 kapal.
Apa? saya datang terlalu pagi. Tidak ada aktivitas di keraton itu, hanya terlihat seorang ibu yang berjalan membawa belanjaan. Pintu-pintu museum di keraton juga masih terkunci.
Baiklah, saya akan kemari lagi nanti, sementara saya akan hunting foto di Kota Cirebon. Sekitar satu kilometer dari Keraton Kanoman, terdapat beberapa bangunan tua peninggalan kolonial, karya arsitektur yang indah.
Saya kembali berjalan ke tengah kota dengan jalan yang berbeda dari yang saya lewati dan menemukan area komunitas Arab, seperti daerah Ampel di Surabaya. Di tempat itu terdapat Masjid Merah Panjunan.
09.00 @ Masjid Merah Panjunan
Seorang Ibu yang kira-kira berusia 50 tahun tiba-tiba mendatangi saya. Ibu tersebut bernama Emi, merupakan istri dari juru kunci area Masjid Panjunan. Beliau segera menelepon suaminya yang katanya sedang mengajar di sebuah SD di dekat masjid ini. Menurut Ibu Emi, Masjid tersebut merupakan masjid pertama di Cirebon dan juga Masjid pertama di tanah Jawa.
Dibangun oleh seorang pangeran asal Bagdad Iraq bernama Pangeran Panjunan, tapi saya lupa nama Arabnya. Pangeran Panjunan juga dimakamkan di samping masjid ini.Yang menarik dari masjid ini adalah warna dan ukuran bangunannya, tinggi bangunan ini hanya sekitar 2 meter dan seluruh dindingnya berwarna merah bata. Menurut Ibu Emi, warna merah pada bangunan, pintu, dan atap belum pernah direnovasi, juga bedug yang terletak di samping masjid.
Di dinding masjid ini juga terdapat banyak keramik Cina. Setelah beberapa lama, suami dari ibu Emi datang, beliau bercerita panjang lebar tentang sejarah Cirebon.Oh tidak, saya merasa sangat bersalah, saya paham dengan sejarah Amerika, saya paham secara detail sejarah dunia, namun sedikitpun saya tidak tahu sejarah bangsa saya, saya sama sekali tidak tahu sejarah penyebaran Islam di tanah Jawa.
Waktu pun berlalu, tidak lupa saya bertanya tentang tempat-tempat wisata di Cirebon dan bagaimana akses untu ke sana. Ibu Emi menyarankan saya untuk mengunjungi Situs Makan Sunan Gunung Jati. Saya harus berjalan sekitar satu kilometer ke perempatan Hero yang tadi saya lewati dan naik angkot dari sana. Dari penjelasan Ibu emi, saya harus menaiki angkot O6 menuju situs Gunung Jati di Cirebon utara.
10.30 @ Makam Sunan Gunung Jati
Begitu saya turun dari angkot, saya langsung didatangi oleh pemandu wisata di kawasan itu. Saya masuk kompleks masjid pemakaman dan suasana mistis yang saya rasakan, bau dupa, orang-orang yang berpakaian khas cirebon, barang-barang aneh seperti kepala kerbau, keris dan tombak menghiasi dinding dalam.
Masjid dan beberapa makam ternyata menjadi tempat yang dikeramatkan, malah di dalam kompleks itu dijual beberapa jimat yang dipercaya dapat membawa berkah. Bapak yang memandu saya berpikir bahwa saya kemari untuk mencari “pesugihan”, sehingga awalnya saya hanya di aja berputar-putar di tempat mencari “berkah”.
Syirik menurut keyakinan saya, dan kembali saya tetapan niat saya di sini untuk melihat dan memahami apa yang terjadi di sekitar saya tanpa harus memberikan penilaian atau mengikuti cara yang mereka gunakan.
Ketika saya masuk, semua mata orang-orang yang bekerja di area wisata itu tertuju kepada saya, karena memang pengunjung biasanya adalah sekelompok orang yang terdiri minimal 10 orang yang tentu saja bertujuan untuk berziarah. Umumnya wisatawan melakukan doa di makam atau masjid di dekat makam, tetapi saya tidak.
Saya perempuan, seorang diri, berpenampilan khas backpacker yang membawa ransel, dan tentu saja kamera DSLR dengan lensa tele panjang.
Orang-orang di dalam sangat ramah, saya ditunjukkan satu persatu kompleks wisata ini, sambil sesekali bercanda karena minta mereka minta difoto. Pemandangan yang sama, yaitu keramik Cina di sepanjang dinding.
Tempat ini terletak di daerah tinggi, seperti bukit dan dihiasi ornamen Cina karena istri dari sunan gunung jati berasal dari Cina. Setelah puas melihat-lihat dan hunting foto di area makam, saya pun memutuskan untuk kembali ke kota dengan menaiki angkot O6 tetapi dengan arah berlawanan. Tidak lupa saya memberikan tips kepada bapak yang telah memandu saya tadi.
Dari dalam angkot saya mendengarkan pembicaraan beberapa penumpang, bahasa di Cirebon terdengar seperti gabungan antara bahasa jawa banyumasan dengan bahasa sunda. Saya hanya bisa sedikit bahasa sunda karena pernah tinggal di Bandung dan sama sekali tidak bisa berbahasa banyumasan.
Setelah sampai di kota, saya berhenti di perempatan Hero dan kembali berjalan menuju area Pasar Kanoman. Panas terik menyengat badan saya, juga kaki saya yang terasa perih lecet dan penuh darah.
12.30 @ Keraton Kanoman
Pasar Kanoman yang tadi pagi sangat ramai, siang ini juga masih ramai. Tidak lupa saya membeli beberapa pernak-pernik Cina dan kue keranjang, rasanya mirip seperi dodol tetapi dibungkus lebih besar.
Keraton Kanoman tetap sepi, tetapi ada beberapa pemuda yang duduk-duduk di sekitar balai bangunan keraton. Saya melihat pintu museum kanoman yang masih terkunci dan salah seorang pemuda mendatangi saya. Dia adalah salah satu anggota keluarga keraton ini, kira-kira berusia 28 tahun, bertubuh ceking dan berambut gondrong, namanya Mas Domo.
Saya diajak berkeliling keraton dan memang keraton ini tidak seramai keraton Kasepuhan Cirebon yang otoritasnya diakui. Kanoman diambil dari kata Nom dalam bahasa jawa yang berarti muda, sedangkan Kasepuhan diambil dari kata sepuh yang berarti tua.
Mas Domo menjelaskan tentang sejarah keraton ini yang dulunya daerah ini adalah pesisir pantai, terlihat beberapa batu karang yang masih tersisa. Di keraton ini ada bangunan pertama yang didirikan oleh pendiri Cirebon, yang disebut WITANA. Diambil dari kata wiwit yang berarti awal. Di dekat witana juga terdapat 7 mata air yang dipercaya membawa keberuntungan.
Tentang adanya keraton kanoman dan kasepuhan ini menurut Mas Domo penguasa keraton kanoman dan kasepuhan adalah saudara, yang lebih tua sebenarnya adalah penguasa keraton kanoman. Menurut cerita, sang ayah dari kedua saudara tersebut mewariskan kerajaannya kepada anak yang lebih muda, sehingga anak yang lebih tua tidak terima yang mendirikan kerajaan sendiri.
Saya tidak tahu tentang batas wilayah antara dua keraton ini, karena jaraknya memang cukup dekat. Setelah berkeliling keraton kanoman, Mas Domo mengantarkan saya ke keraton kasepuhan, dan memang jaraknya hanya satu kilometer sehingga bisa saya tempuh dengan jalan kaki.
Saya tidak langsung masuk ke area keraton, tetapi istirahat dan membeli makan siang terlebih dulu. Di area keraton kasepuhan sangat ramai, terdapat pasar malam yang didominasi oleh kios-kios makanan dan beberapa penjual pakaian. Saya mencari kaos yang bertuliskan Cirebon, tetapi tidak juga ada. Pasar malam ini adalah bagian dari penyambutan sekaten, upacara peringatan maulud nabi Muhammad. Pasar malam ini ada di tiga keraton di jawa, yaitu Cirebon, Solo, dan Jogja yang nantinya akan diakhiri dengan grebeg sekaten.
13.00 WIB @ Keraton Kasepuhan
satu porsi nasi jamblang khas Cirebon ditambah air mineral botol yang sisanya bisa saya minum nanti membuat tubuh saya kembali bertenaga. Selanjutnya saya mengunjungi masjid keraton untuk membersihkan diri sekaligus solat dhuhur. Beberapa plester penutup luka memenuhi kaki saya karena ternyata ada banyak sekali luka.
Untuk masuk kedalam keraton Kasepuhan, terdapat jalan kecil yang ternyata ditarik tiket masuk. Dari tiket masuk seharga Rp.3000,00 itu saya sudah mendapatkan seorang pemandu yang akan menemasi saya berkeliling tempat ini. Namanya Mas Nanang, mungkin berumur 27 tahun, cerdas, dan sopan. Mas Nanang mulai mengajak saya untuk masuk ke pendopo utama, sekali lagi terdapat keramik di dinding.
Sisi dalam Keraton tampak sepi, tidak ada siapapun selain kami. Bangunannya juga hanya tampak seperti rumah Jawa yang besar.
Dijelaskan pula arti filosofis dari arsitektur bangunan keraton ini, Sang arsitek adalah adik dari raja sendiri. Tiang bercabang 4 melambangkan 4 Mahzab yang dianut umat Islam. Sedangkan gambar di dinding dimana terdapat burung kakak tua, daum teratai, buah manggis, biji delima, dan dahan tumbuhan yang membentuk jaringan mempunyai arti sendiri.
Burung kakak tua melambangkan seorang pemimpin yang harus cakap dan pandai berdiplomasi, buah manggis melambangkan kejujuran dan hati yang bersih, jaringan dahan tumbuhan ini melambangkan manusia yang harus bekerja sama, sedangkan delima menggambarkan akronim dari ‘dal’ yang berjumlah 5 buah, dal lima. Maksud ‘dal’ yang berjumlah lima ini adalah surat Al Ikhlas yang dalam ayat-ayatnya menyebutan huruf Arab ‘dal’ sebanyak lima kali, Al Ikhlas menggambarkan tauhid dan ke-Esaan Allah yang menjadi dasar pendirian keraton ini.
Juga keramik yang ada di keraton ini berbeda dengan keramik yang saya temui sebelumnya. Keramik yang ada di keraton ini berasal dari barat dimana dalam gambarnya terdapat kisah-kisah tentang Yesus seperti yang dimuat dalam bible. Tetapi karena penguasa dan mayoritas penduduk Cirebon adalah muslim, maka keramik itu dibentuk menyerupai bentuk masjid.
Juga pintu depan keraton yang tidak sejajar dengan pintu belakang, hal ini terdapat dalam Feng Shui dimana ketika pintu depan sejajar dengan pintu belakang akan mendatangkan keburukan. Hal ini menggambarkan adanya berbagai macam budaya di Cirebon, sangatlah wajar karena Cirebon merupakan kota pelabuhan yang menjadi tempat bertemunya berbagai budaya dan peradaban asing.
Saya sempat bertanya tentang ukuran Masjid Panjunan yang begitu rendah, menurut Mas Nanang hal itu melambangkan sifat kerendahan hati. Juga dinding-dinding di keraton, pagar luar selalu berwarna merah dan dinding dalam berwarna putih. Saya juga diajak untuk berkeliling museum keraton dimana terdapat barang-barang dari luar negeri dan beberapa senjata yang pernah digunakan dalam berbagai pertempuran.
Mas Nanang pun menjelasan semua detail dari keraton ini, ternyata di area makam Sunan Gunung Jati yang saya datangi tadi terdapat mercusuar, karena dulu daerah itu berada di tepi pantai. Oke, saya sudah berkeliling area keraton ini, Mas Nanang menyarankan saya untuk mengunjungi Keraton Kacirebonan. Dia merekomendasikan saya untuk menemui temannya yang biasa dipanggil Kang Heri, seorang pelatih tari khas Cirebon yang biasanya melatih di Keraton Kacirebonan.
Ketika berjalan menuju keraton Kacirebonan, saya menemukan sebuah toko yang menjual beberapa souvenir khas Cirebon, topeng. Saya tidak membeli topeng yang besar, hanya sebuah gantungan kunci berbentuk topeng yang berjumlah 5 buah. hahaha
15.00 WIB @ Keraton Kacirebonan
Ramai sekali keraton ini, tapi bukan wisatawan yang saya lihat, malah banyak sekali remaja-remaja yang duduk di dalam gazebo keraton. Beberapa di antara mereka sedang berlatih gerakan-gerakan seperti gabungan antara tari dan bela diri, mereka berlatih pencak silat.
Menurut Hesti, salah satu dari remaja yang berlatih di tempat itu, dia dan kawan-kawannya sedang berlatih untuk pentas seni di sekolahnya, salah satu sekolah negeri di Cirebon. Menurut Hesti, Kang Heri sedang tidak ada di tempat, yang ada hanya Mas Anto dan mungkin sebentar lagi Kang Heri kembali.
Saya memutuskan untuk masuk ke dalam keraton dan menunggu di dalam, ternyata lebih sepi dari yang dibayangkan. Saya beristirahat sejenak dan mencoba memotret bagian-bagian dari bangunan, tak lama kemudian saya melihat ada pria asing yang masuk dan menghampiri saya. Namanya Edward, usianya mungkin sekitar 50 tahun, berasal dari Australia dan menjadi dosen di salah satu universitas swasta di Cirebon.
Mula-mula pembicaraan ini baik-baik saja. Namun setelah saya bercerita tentang perjalanan saya dimana saya tidak menginap di hotel, saya tidak menggunakan kereta eksekutif, saya lebih banyak berjalan kaki selama di Cirebon, orang itu langsung menawarkan uang untuk saya.
Dia berpikir bahwa saya kekurangan uang, hmmm walaupun uang saya sebenarnya cukup untuk menginap di hotel dan menggunakan kereta eksekutif, saya tidak akan melakukannya (tanpa bermaksud sombong, hehehe). Perjalanan menantang seperti ini lebih menyenangkan untuk saya.
Orang itu tetap menawarkan uang untuk saya, tetapi syaratnya saya harus mau diajak berbuat asusila dengannya. Saya hanya tertawa dan TENTU SAJA MENOLAK.
Situasi yang kurang baik untuk seorang anak perempuan berusia 18 tahun, sendirian di kota yang jauh dari rumah. Saya langsung meninggalkan orang itu dan kembali ke luar ke tempat latihan pencak silat. Ternyata Mas Anto sudah tidak ada, hanya tinggal Hesti dan beberapa temannya.
Saya memutuskan untuk kembali melanjutan perjalanan menuju stasiun Prujakan untuk membeli tiket ke Jakarta. Tidak, kaki saya semakin berdarah, dan sangat sakit digunakan untuk berjalan kaki.
Akhirnya, saya naik becak juga, melintasi kota tua Cirebon di kala senja, indah sekali.
Masih saja ada hal yang mengganggu pikiran saya. Waktu tempuh Cirebon-Jakarta adalah 4,5 jam, padahal Lady dkk yang naik kereta Matarmaja seperti yang saya naiki hari ini, baru sampai di Jakarta sekitar pukul 09.00 WIB, berarti saya berangkat menuju Jakarta besok pagi. Lalu apa yang harus saya lakukan untuk menghabiskan waktu setelah ini sampai besok pagi?
Saya menghabiskan waktu di stasiun agar langsung bisa naik ketika kereta datang? Atau saya menghabiskan waktu di tempat lain, tetapi dengan risiko kesulitan menuju Stasiun Prujakan karena sulit mendapatkan angkutan di Cirebon, dan kaki saya sedang susah diajak berkompromi.
Semua loket masih ditutup rapat ketika saya tiba di stasiun Prujakan, saya hanya melihat beberapa jadwal dan kereta ekonomi ke Jakarta, tersedia pukul 23.00, pukul 02.30, dan pukul 05.00.
Saya memutuskan untuk kembali lagi nanti setelah mahrib, sekarang saatnya saya membersihkan diri. Tertarik juga saya mengunjungi aloon-aloon dan masjid agung Cirebon, saya tadi pagi sempat melewatinya saat menuju stasiun kota.
16.00 WIB Masjid Agung Cirebon
saya menaiki angkot D6, angkot yang membawa saya ke stasiun kota tadi pagi. Saya segera membersihkan diri di masjid agung tersebut. Kamar mandinya lumayan bersih dan sangat layak digunakan untuk mandi, lalu kembali bersujud kepada pencipta atas karunianya yang luar biasa hari ini. Setelah solat ashar, saya sempatkan untuk hunting foto di area masjid sembari membunuh waktu menanti Mahrib.
Entah kenapa suasana di masjid ini mengingatkan saya saat solat di Masjid Agung Kediri. Tidak begitu ramai di dalam, hanya di luar terdapat beberapa orang yang terlihat seperti wisatawan religi yang telah pulang mengunjungi makam wali.
Oh iya bagaimana saya kembali ke stasiun nanti? Angkot di Cirebon hanya sampai sore. Sepertinya saya akan berjalan kaki lagi dari masjod agung ke Stasiun Prujakan.
Saya pun menanti waktu isya’ di masjid raya, tetapi semakin malam, jamaah di masjid itu semakin banyak. Ternyata akan ada ceramah malam ini.
Saya bersiap keluar dan APA? SANDAL SAYA TIDAK ADA! SANDAL TRACK SAYA SATU-SATUNYA!
Begitu banyak sandal ada di luar masjid, berbeda dengan yang saya lihat sore tadi, pemandangan di luar masjid begitu ramai. Apakah saya harus berjalan kaki menuju stasiun tanpa sandal? Saya rasa sandal saya tertindih beberapa sandal di luar.
Sepertinya memang saya harus menunggu ceramah ini selesai dan masjid menjadi sepi untuk menemukan sandal saya. Ceramah ini membahas tentang riya’dan disampaikan oleh ust. Buya Yahya.
Saya sempat berbincang dengan panitia acara ini, semacam remaja masjid yang kira-kira masih seusia saya. Namanya Mbak Esa, seorang mahasiswi semester 4 di salah satu universitas swasta di Cirebon. Dia mengatakan akan memberikan tumpangan kendaraan kepada saya ke stasiun setelah ceramah ini selesai. Dia agak kaget ketika saya berkata, saya dari Blitar. Ternyata ustad Buya Yahya yang sedang berceramah di podium juga berasal dari Blitar.
Alhamdulillah, sandal saya masih ada, ceramah sudah selesai, dan waktu menunjukkan pukul 21.45 WIB. Suasana di luar menjadi kembali sepi. Jarak antara masjid dengan stasiun ini lumayan jauh sehingga saya memutuskan untuk tidak menerima tawaran Mbak Esa, karena dia juga dia akan pulang sendirian. Saya meminta Mbak Esa menemani saya untuk mencari becak di depan masjid, ternyata masih ada, dan mau ditawar dengan harga yang sangat murah, Rp3000,00 untuk jarak sekitar 3 km.
22.30 @ Stasiun Prujakan
Loket masih ditutup, hanya terlihat beberapa tukang becak dan penjual di sekitar stasiun. Sepertinya hanya saya, satu-satunya penumpang malam ini. Hawa malam di Cirebon tidak terlalu dingin, tetapi cukup banyak nyamuk yang bernyanyi di depan wajah saya.
Terdengar suara informasi, pembelian tiket kereta malam dilakukan di kantor, tidak di loket. Saya segera menuju kantor petugas, nampak beberapa pria yang membeli tiket tujuan Semarang dan Wonogiri.
Saya membeli tiket Kereta Tawang Jaya tujuan Jakarta seharga Rp.27.000,00 yang akan berangkat setengah jam lagi. Mungkin saya akan menunggu pagi di Musola di Jatinegara karena kereta akan tiba kira-kira pukul 04.30 pagi, dan saya harus menunggu dua teman dari Jogja.
Saya meminta izin kepada petugas yang melayani pemesanan tiket, untuk menunggu di dalam kantor karena ada tv di dalam. Di luar, tampaknya saya hanya satu-satunya perempuan. Saya bisa menghabiskan waktu sejenak di dalam kantor, lebih aman.
Petugas di dalam sangat ramah, adanya televisi sangat membantu untuk menghabiskan waktu dan kereta Tawang Jaya pun tiba.
apa? Penumpang sangat penuh, sepertinya saya tidak akan duduk. Akankah saya berdiri sepanjang malam? Padahal saya ingin tidur ketika berada di kereta.
Bapak petugas kereta api menyaranan saya untuk menunggu kereta api brantas saja. Lagipula lebih aman menunggu sendirian di stasiun Prujakan Cirebon daripada menunggu di stasiun Jatinegara. Saya mengikuti saran beliau, sayapun kembali ke dalam kantor dan melihat televisi.
Tiket Tawang Jaya mempunyai harga yang sama dengan Brantas sehingga saya bisa menggunakan tiket yang sudah saya beli. Begitu ramahnya bapak-bapak petugas. Ketika saya masuk ke dalam kantor kembali, segelas kopi panas sudah tersaji untuk saya.
Kami pun berbincang-bincang tentang banyak hal, saya bisa melihat bagaimana proses yang ada di stasiun. Ketika kereta akan datang, mereka akan ditelepon, lalu membunyikan interkom dan memutar pengungkit yang tersambung dengan lonceng.
Film yang kami lihat di televisi juga menarik, sebuah film laga hollywood tahun 1990an. Kereta Brantas tiba di stasiun Prujakan Cirebon pukul 03.00 dini hari, saya segera berpamitan dengan bapak-bapak petugas yang baik hati.
Kereta Brantas terlihat lebih sepi daripada kereta Tawang Jaya. Saya dengan mudah mendapatkan tempat duduk. Sesaat kemudian, kereta ini melaju menembus pagi menuju ibu kota. Berat juga meninggalkan Cirebon yang unik. suatu saat, insya Allah saya akan kembali ke kota ini......ZzzZZzzzz
14 December 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
7 comments:
nice story..
Sambungan ceritanya mana mba'..
Keren
menjadi backpacker itu mengasikkan,pikiran kita terbuka,tapi mengapa kita tidak keliling dulu diseluruh kabupaten dipropinsi tempat tinggal kita,setidaknya ketika keluar kita juga sudah tahu seluruh daerah kita sendiri seperti apa,,he he he he
tahun 2013,,ya mba,,,,tiket kreta masih belum online.....
tapi pengalaman yang luar bisa....
thanks.. brmanfaat bgt
thanks.. brmanfaat bgt
great trip :)
Post a Comment
Kasih comment plis....