Pages

27 November 2012

South East Asia Trip: Empat Ksatria Mekong


Siang di Vientiane begitu lembab dan terik. Semacam Sidoarjo atau Surabaya, tapi secara kuantitas jauh lebih sepi. Sesepi kota Blitar yang terletak ribuan mil jauhnya di sana. Oh, apa kabarnya bapak dan ibuk?
Suasana Settathirat Road, Vientiane, Laos
 Saya memilih dormitory seharga 100 bath Thailand (mata uang Thailand masih bisa digunakan di Laos, tapi tidak di Vietnam!) di kawasan pusat backpacker Vientiane. Dormitory adalah semacam kelas hostel atau guesthouse, yang menyediakan banyak ranjang dalam satu ruangan, sehingga kita harus berbagi ruangan dengan orang asing. Cukup menarik karena saya berpetualang sendirian, dan kebutuhan untuk berbincang dengan teman dari berbagai dunia mendesak untuk disalurkan. Bukankah itu esensi traveling?

Di dormitory Sabaidy Guesthouse, tempat saya menginap ini, saya berkenalan dengan ksatria pertama. Dia tampak duduk muram di pojok tempat tidur. Awalnya saya mengira dia adalah orang Jepang karena tidak terlalu banyak bicara dengan backpacker lain. Tapi ternyata sewaktu saya ajak berkenalan, tampaklah wajah westernnya sedikit lebih gelap karena terbakar matahari. 

Jilom, Ksatria dari Avegnon
Namanya Guillaumme (ucap: Jilom). Dia seorang solo traveler sama seperti saya. Pemuda tampan ini, lahir dan besar di Avegnon, Perancis selatan dekat Marseille. Keluar dari pekerjaannya sebagai buruh pabrik di Perancis dan memutuskan untuk berkeliling dunia. Sesaat setelah berkenalan, langsung saya tawari untuk makan siang (bayar sendiri2). Dan dia langsung mengiyakan. Horee teman pertama, teman sekamar yang tampan :o

Setelah mandi, saya pun berangkat mencari warung makan bersama Jilom, dan menemukan depot masakan China. Ya setidaknya lebih baik karena saya butuh asupan nasi untuk petualangan hari ini. Jilom menceritakan kehidupannya, putus cintanya, dan keinginannya untuk membeli sepeda motor dan kembali berkeliling Indochina. Lalu tak segan dia menanyakan kepada saya tentang rencana saya esok hari. Dia menawarkan ide bagus untuk menyewa sepeda dan keliling Vientiane naik sepeda.

Buku yang dibawa Jilom ini menarik mata saya, lonely planet. Sejak awal saya memang ingin membeli buku ini karena saya sama sekali buta tentang laos dan negara-negara yang akan saya tuju. Apakah saya akan melanjutkan perjalanan ke Vietnam, atau harus balik lagi ke Thailand. Uang pas-pasan, jadwal pesawat harus tepat waktu, dan rute-rute yang tidak bisa dibayangkan jarak tempuhnya. Sudahlah, biarkan angin membawa langkahku.
Settathirat Road, Vientiane, Laos
Akhirnya saya berpisah dengan Jilom di guesthouse. Dia mengantarkan saya ke guesthouse setelah makan siang, sebelum dia pergi menuju kedutaan untuk mengurus sesuatu yang berkaitan dengan imigrasi. Saya pun memutuskan untuk berkeliling area sekitar guesthouse ini dengan berjalan kaki.
salah satu kuil di tepi sungai Mekong
Banyak bangunan dengan ornamen berwarna oranye, semacam wat atau kuil yang bentuknya tidak jauh berbeda dengan kuil-kuil di Thailand. Puluhan pohon kelapa tumbuh di sekitar perumahan penduduk, lebih menunjukkan suasana “desa”, padahal kota ini merupakan ibu kota negara. 

Selain menggunakan bahasa Laos, tulisan formal di kantor-kantor dan petunjuk jalan, masih menggunakan bahasa Perancis. Mirip di Yogyakarta yang menggunakan tulisan Indonesia dan tulisan Jawa kuno (Ha Na Ca Ra Ka). Hal ini karena dulunya negeri-negeri Indochina ini adalah jajahan Perancis, banyak juga cafĂ© Perancis. Kata Jilom, orang-orang Laos berusia 50 tahun ke atas, masih fasih menggunakan bahasa koloninya. 

Petunjuk Jalan di Vientiane Ditulis dalam Dwi Bahasa
Dan di seberang jalan, saya menemukan took buku bekas dan menemukan buku yang saya cari, LONELY PLANET!

Lima ratus meter di depan mata terdapat sungai besar. Ternyata inilah sungai Mekong. Sungai yang namanya hanya saya baca di buku IPS SD, atau buku Geografi SMP. Sekarang saya di hadapannya! Di area sungai ini merupakan area backpacker, yang artinya pusat hostel dua dollar hingga hotel berbintang lima. Perbatasan Laos dan Thailand dipisahkan oleh sungai mekong ini. Di seberang sana, ada negara lain yang ibu kotanya begitu maju. Negara yang saya tinggalkan beberapa jam lalu.
Di Tepi Sungai Mekong
Di tepi sungai Mekong, terdapat semacam lapangan bermain, biasanya anak-anak sekolah bermain bola di sini saat sore. menjelang malam, banyak pedagang yang menata dagangannya untuk pasar malam. Hal yang mengejutkan adalah keberadaan bendera komunis palu-arit. Sebagai seorang neo-marxis dan anti kapitalis, keberadaan bendera ini sangat menarik perhatian saya.
bendera komunis di sebelah bendera Laos
Hingga sore menjelang, saya memutuskan untuk duduk sambil membaca lonely planet yang saya pegang. Di tepi sungai Mekong inilah saya menyususn rencana perjalanan saya untuk sepuluh hari ke depan. Beberapa pemuda bermain bola di lapangan dekat tiang bendera di tepi sungai ini. Beberapa orang juga hanya duduk-duduk sambil menanti sunset.
Sunset di Sungai Mekong
Tiba-tiba ada seorang pemuda Jepang yang meminta saya untuk memotret dirinya. Namanya Hiro, dan kami pun bercakap-cakap tentang solo traveler. Ceritanya cukup menarik, dia seorang mahasiswa yang menabung dan bekerja keras mendapatkan uang untuk liburan ini. Yep ksatria kedua, cowok lucu dari Jepang. (sayang gak ada foto muka dari depan). Ksatria dalam konteks ini melambangkan "solo traveller" yang secara tidak sengaja bertemu dan berkawan, hingga tidak ingat bahwa dia datang ke kota ini tanpa seorang teman.

Sesaat kemudian, datanglah seorang gadis berwajah asia bernama Astrid. Dia adalah gadis keturunan Taiwan yang besar di Amerika Serikat. Gadis cerdas, cantik, nan gaul ini akhirnya menginterupsi pembicaraan kami, dan saya pun menawarinya untuk bersepeda bersama keesokan harinya. Ah yang benar saja, kami yang baru kenal beberapa menit yang lalu di tepi sungai Mekong, langsung bercakap-cakap bak teman SMA yang sudah 10 tahun tidak bertemu. 

Hiro dan Astrid sibuk menawar barang
 Di sisi sungai bagian utara, ada night market yang menjual souvenir khas Laos. Di sini kami menemukan barang-barang yang sangat murah. Mungkin karena bosan menunggu Astrid yang lama melihat-lihat, Hiro pun akhirnya pergi lebih dulu dan meninggalkan kami berdua. Malam pun kami habiskan dengan makan mie dan minum beer khas Laos. Namanya Laobeer, semacam bir nasional yang rasanya sama dengan bir kualitas dunia, hanya saja harganya lebih murah (di kamboja bir merk ini ternyata jauuuuuuh lebih murah). Janji pun dibuat. Besok jam 9 pagi, saya, Astrid dan Jilom akan bersepeda keliling kota Vientiane. Mau ikut?
Suasana Night Market di Tepi Sungai Mekong

3 comments:

Tsabita Shabrina (bita) said...

Kalo diliat dari foto-fotonya , Laos ga jauh beda sama Indonesia ya boi, bedanya cuman ga padet banyak motor kayak disini , :p ah tp saya envy pengalamanmu boi, pasti kamu udah banyak "melihat" dan banyak "belajar" dari petualangan2 itu

mmm, kamu beli baju yg ada gambarnya palu+arit itu ga ? klo beli coba pake ngampus :p

Dinar Okti Noor Satitah said...

kalau di Vientiane ini banyak Monk boi, itu yang gak ada di Indonesia. kebetulan guesthouse ku deket sama kuil.

Unknown said...

makasih sudah di sentil boy, adrenalin ku mulai terpacu liat cerita n foto-foto mu ;),
u always can survive boooy..!!

Post a Comment

Kasih comment plis....

Powered By Blogger