Siang di Vientiane
begitu lembab dan terik. Semacam Sidoarjo atau Surabaya, tapi secara kuantitas jauh
lebih sepi. Sesepi kota Blitar yang terletak ribuan mil jauhnya di sana. Oh, apa
kabarnya bapak dan ibuk?
Suasana Settathirat Road, Vientiane, Laos |
Saya memilih dormitory
seharga 100 bath Thailand (mata uang Thailand masih bisa digunakan di Laos,
tapi tidak di Vietnam!) di kawasan pusat backpacker Vientiane. Dormitory adalah
semacam kelas hostel atau guesthouse, yang menyediakan banyak ranjang dalam
satu ruangan, sehingga kita harus berbagi ruangan dengan orang asing. Cukup
menarik karena saya berpetualang sendirian, dan kebutuhan untuk berbincang
dengan teman dari berbagai dunia mendesak untuk disalurkan. Bukankah itu esensi
traveling?
Di dormitory Sabaidy
Guesthouse, tempat saya menginap ini, saya berkenalan dengan ksatria pertama.
Dia tampak duduk muram di pojok tempat tidur. Awalnya saya mengira dia adalah
orang Jepang karena tidak terlalu banyak bicara dengan backpacker lain. Tapi
ternyata sewaktu saya ajak berkenalan, tampaklah wajah westernnya sedikit lebih
gelap karena terbakar matahari.
Jilom, Ksatria dari Avegnon |
Namanya Guillaumme
(ucap: Jilom). Dia seorang solo traveler sama seperti saya. Pemuda tampan ini,
lahir dan besar di Avegnon, Perancis selatan dekat Marseille. Keluar dari
pekerjaannya sebagai buruh pabrik di Perancis dan memutuskan untuk berkeliling
dunia. Sesaat setelah berkenalan, langsung saya tawari untuk makan siang (bayar
sendiri2). Dan dia langsung mengiyakan. Horee teman pertama, teman sekamar yang
tampan :o
Setelah mandi, saya pun
berangkat mencari warung makan bersama Jilom, dan menemukan depot masakan
China. Ya setidaknya lebih baik karena saya butuh asupan nasi untuk petualangan
hari ini. Jilom menceritakan kehidupannya, putus cintanya, dan keinginannya
untuk membeli sepeda motor dan kembali berkeliling Indochina. Lalu tak segan
dia menanyakan kepada saya tentang rencana saya esok hari. Dia menawarkan ide
bagus untuk menyewa sepeda dan keliling Vientiane naik sepeda.
Buku yang dibawa Jilom
ini menarik mata saya, lonely planet. Sejak awal saya memang ingin membeli buku
ini karena saya sama sekali buta tentang laos dan negara-negara yang akan saya
tuju. Apakah saya akan melanjutkan perjalanan ke Vietnam, atau harus balik lagi
ke Thailand. Uang pas-pasan, jadwal pesawat harus tepat waktu, dan rute-rute
yang tidak bisa dibayangkan jarak tempuhnya. Sudahlah, biarkan angin membawa langkahku.
Settathirat Road, Vientiane, Laos |
Akhirnya saya berpisah
dengan Jilom di guesthouse. Dia mengantarkan saya ke guesthouse setelah makan
siang, sebelum dia pergi menuju kedutaan untuk mengurus sesuatu yang berkaitan
dengan imigrasi. Saya pun memutuskan untuk berkeliling area sekitar guesthouse
ini dengan berjalan kaki.
salah satu kuil di tepi sungai Mekong |
Selain menggunakan bahasa Laos, tulisan formal di kantor-kantor dan petunjuk jalan, masih menggunakan bahasa Perancis. Mirip di Yogyakarta yang menggunakan tulisan Indonesia dan tulisan Jawa kuno (Ha Na Ca Ra Ka). Hal ini karena dulunya negeri-negeri Indochina ini adalah jajahan Perancis, banyak juga café Perancis. Kata Jilom, orang-orang Laos berusia 50 tahun ke atas, masih fasih menggunakan bahasa koloninya.
Petunjuk Jalan di Vientiane Ditulis dalam Dwi Bahasa |
Dan di seberang jalan,
saya menemukan took buku bekas dan menemukan buku yang saya cari, LONELY
PLANET!
Lima ratus meter di
depan mata terdapat sungai besar. Ternyata inilah sungai Mekong. Sungai yang
namanya hanya saya baca di buku IPS SD, atau buku Geografi SMP. Sekarang saya
di hadapannya! Di area sungai ini merupakan area backpacker, yang artinya pusat
hostel dua dollar hingga hotel berbintang lima. Perbatasan Laos dan Thailand
dipisahkan oleh sungai mekong ini. Di seberang sana, ada negara lain yang ibu
kotanya begitu maju. Negara yang saya tinggalkan beberapa jam lalu.
Di tepi sungai Mekong, terdapat semacam lapangan bermain, biasanya anak-anak sekolah bermain bola di sini saat sore. menjelang malam, banyak pedagang yang menata dagangannya untuk pasar malam. Hal yang mengejutkan
adalah keberadaan bendera komunis palu-arit. Sebagai seorang neo-marxis dan
anti kapitalis, keberadaan bendera ini sangat menarik perhatian saya.
Hingga sore menjelang,
saya memutuskan untuk duduk sambil membaca lonely planet yang saya pegang. Di
tepi sungai Mekong inilah saya menyususn rencana perjalanan saya untuk sepuluh
hari ke depan. Beberapa pemuda bermain bola di lapangan dekat tiang bendera di
tepi sungai ini. Beberapa orang juga hanya duduk-duduk sambil menanti sunset.
Tiba-tiba ada seorang
pemuda Jepang yang meminta saya untuk memotret dirinya. Namanya Hiro, dan kami pun
bercakap-cakap tentang solo traveler. Ceritanya cukup menarik, dia seorang
mahasiswa yang menabung dan bekerja keras mendapatkan uang untuk liburan ini. Yep
ksatria kedua, cowok lucu dari Jepang. (sayang gak ada foto muka dari depan). Ksatria dalam konteks ini melambangkan "solo traveller" yang secara tidak sengaja bertemu dan berkawan, hingga tidak ingat bahwa dia datang ke kota ini tanpa seorang teman.
Sesaat kemudian,
datanglah seorang gadis berwajah asia bernama Astrid. Dia adalah gadis
keturunan Taiwan yang besar di Amerika Serikat. Gadis cerdas, cantik, nan gaul ini
akhirnya menginterupsi pembicaraan kami, dan saya pun menawarinya untuk
bersepeda bersama keesokan harinya. Ah yang benar saja, kami yang baru kenal
beberapa menit yang lalu di tepi sungai Mekong, langsung bercakap-cakap bak
teman SMA yang sudah 10 tahun tidak bertemu.
Di sisi sungai bagian
utara, ada night market yang menjual souvenir khas Laos. Di sini kami menemukan
barang-barang yang sangat murah. Mungkin karena bosan menunggu Astrid yang lama
melihat-lihat, Hiro pun akhirnya pergi lebih dulu dan meninggalkan kami berdua.
Malam pun kami habiskan dengan makan mie dan minum beer khas Laos. Namanya
Laobeer, semacam bir nasional yang rasanya sama dengan bir kualitas dunia,
hanya saja harganya lebih murah (di kamboja bir merk ini ternyata jauuuuuuh
lebih murah). Janji pun dibuat. Besok jam 9 pagi, saya, Astrid dan Jilom akan
bersepeda keliling kota Vientiane. Mau ikut?
Hiro dan Astrid sibuk menawar barang |
Suasana Night Market di Tepi Sungai Mekong |
3 comments:
Kalo diliat dari foto-fotonya , Laos ga jauh beda sama Indonesia ya boi, bedanya cuman ga padet banyak motor kayak disini , :p ah tp saya envy pengalamanmu boi, pasti kamu udah banyak "melihat" dan banyak "belajar" dari petualangan2 itu
mmm, kamu beli baju yg ada gambarnya palu+arit itu ga ? klo beli coba pake ngampus :p
kalau di Vientiane ini banyak Monk boi, itu yang gak ada di Indonesia. kebetulan guesthouse ku deket sama kuil.
makasih sudah di sentil boy, adrenalin ku mulai terpacu liat cerita n foto-foto mu ;),
u always can survive boooy..!!
Post a Comment
Kasih comment plis....