Dukaku bukan untukmu, yang membawaku menembus senja di antara kerlip kecil lampu mobil yang acuh melaju. Berbagai cerita terusik suara sirna fatamorgana kawan di pelataran aula. Hingga senja usai tinggalkan kita, aku tahu kau masih di sini.
Semua hanya tertawa seakan aku tak berguna, aku sendiri juga tak merasa berguna hingga batas cakrawala keunguan pendarkan senyummu, juga mata sayu di bawah topi usang itu.
Aku mempelajarimu setiap waktu bukan untuk kau ajarkan jadi pemalu, juga bukan menjadi peragu dalam keras jalanku. Jika rumahku merindukanmu, dan kameraku masih menyimpan bayangan biru kumis tipis itu, apa masih mampu aku menyuruhmu segera melepas gagang pintu?
Dalam perjalanan, aku tinggalkan catatan ungu tanpa pencerita bisu yang aku tahu rimbamu hanya peragu. Bila hujan temanmu, dan syair nyawamu, apa aku bisa sebentar saja menjadi yang tergambar ketika tintamu menyentuh usang kertas berlembar di atas bantal?
Aku takut hidupku lebih berantakan tak terlukiskan ketika menyerah tanpa arah di pusaran kamar kosku. Membayangkan saja hanya berteman dengan lagu paling menyentuh saat nyata menemaniku. Andai pintu depan kosku bisa menebak, pasti sepeda motormu takkan melaju secepat itu.
Juga senyummu yang membekas di sepanjang gang kecil yang tak terlindas oleh injak kaki mereka mahasiswa baru. Begitu khawatir akan susahku, juga kata yang keluar dari asin bibirmu, aku bisa menangkap dengan jaring kecil di pelupuk mataku, lalu terpejam dan kamu masih tersenyum membunuh ragu sambil menatapku diam-diam.
Hanya diam, mungkin menunggu. Ah, aku tak terbiasa menghadapi pemuda pemalu. Akan kuberondong dengan ocehan bisu yang keluar dari balik hati yang tertutup jerami berduri sisa sore itu.
Jadi pahlawan sudah tugasmu. Manis hadapi awal malam akhir agustus yang tenang. Semua tentang waktu yang terulang pelan hingga aku melihat bekas sujud di keningmu, atau leher gelap terbakar di depan kepalaku.
Bukan aku tak mau, hanya aku butuh waktu untuk mimpiku. Toh kamu masih sibuk dengan status mahasiswa baru. Sayang, ingin aku masuk menjelma menjadi aliran darah dalam arterimu, yang terus mengisi ruang kosong jantungmu. Hingga kau menyerahkan sepenuhnya waktumu untuk membiarkanku masuk sebentar saja membasahi dinding pembuluh jiwamu.
Aku berduka karena aku harus mengejar mimpiku, kamu candu yang membuat semua terasa lambat, hingga aku lupa waktu, dan menjadi tak menentu.
Sayang, maukah kau menunggu?
Surabaya, 30 Agustus 2010
08 September 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Post a Comment
Kasih comment plis....