Tidak susah menemukan koneksi
internet di India. Termasuk di flat Rajeev yang koneksi wifinya lumayan cepat,
sehingga saya bisa internetan dan bbman dengan kawan di Indonesia dan di India.
Walaupun saya tidak bisa menelepon dan sms karena belum mempunyai nomor India.
Saya bingung dengan banyaknya lotion
dan gel yang ada di meja Rajeev. Apakah itu milik pacarnya, atau milik Rajeev
sendiri. Apakah lotion itu digunakan untuk seluruh badan seperti yang biasa
dilakukan oleh seorang perempuan, atau hanya untuk pelicin pas dia lagi *****.
Berbagai pikiran pun muncul, mulai dari yang biasa saja hingga yang paling
kotor. Saya heran awalnya, dan pertanyaan saya ini akan terjawab nanti. Ikuti terus
kisah ini. hehe
Rajeev pun memberi tahu saya untuk
naik angkutan bernama auto (baca: Oto), biasa disebut bajaj kalo di Jakarta. Sekitar
jam 10.00 waktu setempat, saya diantar ke ujung gang di daerah Bharat Nagar, New
Friends Colony, dengan dibonceng motor gedenya untuk mendapatkan Oto. Daerah Bharat
Nagar yang merupakan area kos-kosan mahasiswa ini adalah komplek muslim padat, yang
lokasinya dekat dengan Universitas Jamia Milia Islamia. Salah satu universitas
terbaik di India.
Dengan membawa kopor, ransel dan tas
kamera, tampaklah saya 100% sebagai orang asing yang layak mendapat harga mahal
saat naik oto. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga orang baru datang. Oto pun
meluncur dengan energi suara yang lebih keras dari energi geraknya. Delhi di
pagi hari tampak begitu mirip dengan Indonesia. Ada banyak penjual di tepi
jalan. Yang berbeda adalah banyaknya pejalan kaki dan binatang yang hidup bebas
di jalan. Mulai anjing, kucing, monyet, tupai, sapi, dari burung dara hingga
burung elang. Binatang sepertinya hidup nyaman di India tanpa takut
dikandangkan bahkan dimakan.
Sampailah saya di KBRI Indonesia.
Masuk dengan tampang backpacker tapi membawa kopor. Tampang memang belum bisa
diubah karena saya gak mau ambil risiko dapat harga yang tambah mahal saat naik
kendaraan umum. Saya menunggu sebentar, lalu datanglah Mas Rozin. Mas Rozin ini
adalah pacar dari sahabat saya, Dinda, yang tahun lalu ikut exchange juga ke
India. Mas rozin pun mengaja saya naik ke atas, dan menemui bapak atase
pendidikan yang ternyata adalah orang Surabaya.
Bangunan KBRI Delhi ini termasuk
luas. Di dalamnya seperti kompleks pemukiman. Terdapat mushola, lapangan
badminton, lapangan tenis, ruang-ruang kantor, dan wisma-wisma untuk diplomat.
KBRI Delhi terletak di Chanakyapuri, sebuah kompleks kedutaan yang tenang dan
jauh dari kesan India seperti yang ada di televisi. Jarak antara kedutaan satu
dengan kedutaan lain sangat berdekatan.
Kontan saya disambut dengan berbagai
tanggapan diplomatis. Di sana saya juga mengenal orang-orang baru. Pak Sohan
dan Mas Habibi, staf atase pendidikan. Lalu tiba-tiba muncullah perempuan yang
berusia hampir 60 tahun yang berbicara dengan suara keras. Dengan mata melotot,
alis meruncing dan suara meninggi, wanita itu dengan tegas memberikan instruksi
untuk staf di atase pendidikan. Hampir mirip acting seorang majikan memberikan
instruksi terhadap babunya dalam pentas-pentas teater yang pernah saya lakukan.
Lumayan kaget dengan gaya komunikasi beliau. Di benak saya langsung tergambar
sosok setan jawa yang berasal dari gunung merapi, Mak Lampir.
Ternyata surat pengajuan tempat
tinggal yang saya ajukan dari Indonesia belum diterima oleh pihak KBRI. Sekali
lagi saya harus membuat surat on de spot. Dengan birokrasi yang berbelit tentu
saja. Saat makan siang, Mas Rozin
mentraktir saya makan dengan puas. Mencoba berbagai masakan India dan
berdiskusi tentang berbagai hal. Saat kembali, makanan dari Mas Rozin pun masih
sempat saya bungkus dan dibawa balik ke KBRI. Akhirnya saya diberitahu bahwa
kerja dimulai pada hari rabu saat Mitha, teman saya dari Indonesia datang.jadi
saya masih punya sehari lagi waktu kosong.
Yang menjadi masalah adalah saya
tidak punya sim card India, sehingga tidak bisa menghubungi teman-teman India.
saya juga belum menemukan India yang saya cari. India seperti di majalah
National Geographic yang eksotis. Yang saya temui di sini justru, pegawai
kantoran dengan pesuruh orang India. Bangga juga, karena di tempat inilah saya
dipanggil Mam, dihormati layaknya (tante-tante) pejabat walaupun dari sisi
kenyataan apalagi penampilan, jelas saya bukan siapa-siapa. Tapi bukan ini yang
saya cari. Bukan.
Hari semakin sore dan saya belum
mendapat tempat tinggal. Kak Habibi, staf embassy bilang kalau saya boleh
tinggal di sekre PPI. Tapi saya tidak tahu dimana letaknya. Tidak ada yang
mengantar pula, dan parahnya kantor sudah tutup dan para staf muda yang biasa
membantu saya sudah pulang. Shitt. Saya belum punya sim card!
Hari sudah gelap dan suhu menurun
drastis. Masa jauh-jauh ke India, tapi tidurnya di mushola. Karena hanya di
Musholayang ada pemanas ruangannya. Jadi saya MEMUTUSKAN: daripada jauh-jauh ke
India cuma dapat pengalaman kantoran, mending saya keluar sekalian. Saya akan
LOST IN DELHI dalam arti yang sebenarnya.
Pukul 21.00 malam itu saya keluar
dari embassy di tengah suhu yang sangat dingin. Berjalan kaki di jalanan yang
sangat sepi, karena pada saat musim dingin jarang ada orang yang keluar rumah
jam segini. Kopor saya tinggal di mushola embassy, saya yakin aman. Saya masih
berjalan hingga sekitar 2 km untuk menemukan oto di luar area Chanakyapuri.
Saya putari Delhi malam itu dengan menaiki Oto untuk mencari money changer.
Saya tahu tukang oto itu berbohong dan mengajak saya berkeliling ke tempat yang
lebih jauh. Oto yang menggunakan argo ini pun membengkak. Tapi sudahlah, saya
ingin melihat Delhi di malam hari. Tidak terlihat seorang perempuan pun. Di mana
perempuan India?
Setelah mendapatkan uang INR, saya
minta diantar ke stasiun kereta api New Delhi. Saya berharap di sana dapat
menaiki kereta ke sebuah kota asing, dan tiba di kota itu esok harinya. Namun,
di stasiun, tidak ada kereta jarak jauh yang akan lewat. Hanya ada kereta jarak
dekat dan kereta jarak jauh yang akan mengakhiri perjalanannya di sana. Di
depan stasiun adalah kompleks backpacker internasional terkenal bernama
Paharganj. Saya mencari warnet di Paharganj dan akhirnya bisa berkomunikasi
dengan beberapa teman. Namun, memang saya berencana untuk LOST.
Waktu sudah menunjukkan pukul 00.31,
dan saya masih berputar-putar di area paharganj sendirian. Banyak yang menulis
di blog, di malam hari area ini adalah salah satu area yang paling tidak aman
untuk perempuan. Masa sih? Saya sih merasa biasa saja, apalagi saya sendirian. Saya
bingung bagaimana para tuna wisma di sana bertahan hidup dengan suhu sedingin
ini. Jangankan heater, rumah saja tidak punya. Hanya selembar selimut yang jauh
lebih dingin dari sleeping bag yang biasa saya gunakan di gunung. Bersyukurlah kalian
para gembel di Indonesia. Segembel-gembelnya kita, masih terasa seperti tinggal
di surga. Tapi yang lebih membingungkan lagi malam ini adalah, BAGAIMANA SAYA
BISA BERTAHAN HIDUP DI SUHU SEDINGIN INI?
Seorang calo hotel membaw saya pada
sebuah hotel di ujung gang paharganj. Bau dupa menusuk hidung saya. Hotel itu
tampak sepi, kotor, dan lumayan mahal. Tapi karena saya butuh tempat menginap,
dan saya sendirian. Ya sudahlah daripada kena hipotermia gara-gara kedinginan.
Tak ada heater di hotel itu. Tapi ada air panas, televisi, dan selimut. Saya
pun tertidur lelap dengan televisi yang masih menyala. TV news nya mirip sekali
penyajiannya dengan TV One di Indonesia. Ah kangen Papa, yang selalu nonton
news tiap pagi.
Ketika terbangun di pagi hari, saya
mendengar bunyi lonceng dan orang-orang yang berdoa. Saya segera checkout dan
mengejar suara itu. Sepertinya ada kuil di sebelah. Ooo Tuhan, SAYA MENEMUKAN
INDIA!
#Tunggu
Lanjutan Ceritanya!
3 comments:
Eaaaaa, emang ini mau jadi berapa episod ceritanya boiii ?
hmmmm , klo aku ada di posisimu malam itu , mgkn aku gak bakal brani lost sendirian dan memutuskan tidur di Mushola, aku kan harus tidur skitar 8 jam shari soalnya hahahahha
Oh iya, di tunggu cerita India bersaljunyaa :))
hadeeeh,,, jam 9 mlm malah keluyuran neng,,,, seee dah,,,
hadeeeh... jam 9 mlm malah nglayap neng.... seeep dah.... ditunggu kelanjutan ceritanya...
Post a Comment
Kasih comment plis....