Setelah
pulang dari sungai Mekong malam harinya, saya berbincang panjang lebar dengan
backpacker lain yang menginap di dormitory ini. Saya tidak sempat menanyakan
namanya, bahkan mengambil fotonya. Dia adalah wanita Jepang berusia sekitar
40an yang menjadi aktivis sosial di berbagai negara berkembang. Ibu yang
mukanya mirip guru matematika saya ketika SMP ini berbagai pengalamannya
tentang tempat-tempat yang harus saya kunjungi. Termasuk bagaimana cara
mendapatkan tiket bus murah, bagaimana menyiasati traveling on budget, apa yang
pertama harus dilakukan ketika sampai di tempat tujuan, bagaimana menyusun
rencana perjalanan, rekomendasi dormitory mana saja yang murah dan layak untuk
ditinggali, dan bagaimana pengucapan nama-nama kota di Indochina ini agar tidak
salah ucap dan miskomunikasi dengan orang lain.
Ilmu
yang diberikan ibu Jepang itu sangat membantu saya dalam perjalanan kali ini.
Bagaimana tidak, saya datang ke sini tanpa persiapan apapun, hanya berbekal
uang 3 juta di ATM. Bahkan keputusan untuk melanjutkan perjalanan ini saya buat kemarin ketika melihat situasi kondisi lingkungan, fisik, estimasi waktu
dan finansial cukup untuk pergi ke Vietnam, kamboja, kembali ke Thailand dan
Malaysia selama 10 hari. ibu ini juga sempat berkata tidak terlalu suka dengan
jilom karena kebiasaannya merokok ganja. Semalaman saya kepikiran terus soal
hal itu. Maklum, kehidupan normal saya di Indonesia jauh dari alcohol dan
drugs. Di perjalanan ini untuk pertama kalinya saya mengenal marijuana atau
ganja. Anehnya, Jilom juga tidak bisa tidur di ranjang sebelah. Dengan
memaksakan diri akhirnya saya terlelap juga.
Pagi
ketika saya bangun, lampu di dormitory ini sudah dimatikan. Sedikit bingung
karena untuk pertama kalinya mengalami disorientasi tempat setelah bangun
tidur. Ruangan ini sedikit gelap kalau pagi. Bangun tidur di dormitory ini
serasa bangun tidur di rumah nenek di Kediri. Mungkin sudah hampir sepuluh
tahun, saya tidak tidur di rumah itu. Jilom masih tidur nyenyak di ranjang
sebelah. ibu Jepang juga masih tidur di ruang sebelah yang bisa saya masuki
kapan saja karena memang antar ruang terhubung satu dengan lainnya. saya cek
waktu di HP sudah menunjukkan pukul 8.30 waktu Laos.
Saya
segera mandi dan kembali duduk di ranjang membuka kitab Lonely Planet untuk
mencari berbagai kemungkinan perjalanan. Ruangan itu sedikit gelap, sehingga
saya harus berpindah ke bawah lubang matahari sehingga bisa membaca dengan
jelas. Tiba-tiba lampu menyala. Jilom sudah berdiri dri ranjangnya dan
menyalakan lampu itu. Semacam hal-hal yang biasa dilakukan oleh ayah saya
ketika di rumah, dan terjadi dengan orang asing di negeri asing.
Jilom
langsung menggantikan saya di kamar mandi dan kami pun segera turun ke bawah.
Astrid sudah menunggu di bawah dengan menggunakan rok batiknya yang dibeli
ketika dia traveling ke Yogyakarta. Setelah menyantap pancake, kami pergi ke
guesthouse di seberang jalan untuk menyewa sepeda dengan harga 20.000 kip Lao,
atau sekitar Rp25 ribu.
Astrid, warga USA keturunan Taiwan. Keluar dari Pekerjaan, lalu Berpetualang |
Ini
tidak benar-benar pagi karena kami semua bangun kesiangan, sehingga jalanan pun
sudah mulai panas. Namun kota ini begitu lengang, begitu santai, begitu lambat.
Bersepeda Keliling Vientiane |
Kota yang cocok untuk bermalas-malasan. Di kanan kiri jalan masih banyak
bangunan berarsitektur eropa, mengingatkan saya akan semester awal kuliah yang
harus mengikuti kelas bahasa Perancis di CCCL.
Wat Sisaket |
Tujuan
pertama kami adalah salah satu wat Sisaket, salah satu kuil yang dibangun pada
tahun 1818 di Vientiane, yang jaraknya hanya sekitar 1 km dari guesthouse. Di
kuil ini, kami juga bertemu dengan beberapa orang dari Perancis. Harga tiket
masuk di kuil ini adalah 5.000 kip.
ratusan patung Budha di Wat Sisaket |
Lantas
kami melanjutkan perjalanan menyusuri pusat kota Vientiane dan berhenti di
tourist information center untuk mengetahui tentang harga dan jadwal
keberangkatan bus. Tak lupa di sana kami mengambil tourist map dan bertanya
sedetail-detailnya tentang bus dari Laos ke Vietnam. Karena sore ini saya harus
berangkat melanjutkan perjalanan ke Vietnam.
Jilom bersama turis-turis dari Perancis |
Setelah
puas mendinginkan badan di touris information center, kami pergi ke Patuxai.
Dibangun mirip dengan bangunan serupa di Perancis. Namun karena dibangun di
Vientiane, membuat kota ini tampak seperti Kediri. 11-12 lah dengan Kediri,
dengan tingkat keramaian lebih tinggi untuk Kediri.
Patuxai |
Anak-anak SD di Vientiane. siapa ya pengarah gayanya :p? |
Sungguh,
kota ini adalah ibu kota negara. Namun jika dibandingkan di Indonesia, masih
jauh lebih maju kota Kediri. Padahal negara sebelah, yang hanya dibatasi oleh
sungai Mekong, mempunyai ibu kota yang luar biasa. Bangkok lebih maju, dan
lebih teratur daripada Jakarta. Bangkok mempunyai MRT, Subway, bus trans
Bangkok, yang menunjukkan bahwa teknologi dan tata ruang kota menjadi sesuatu
yang patut dibanggakan.
Jalanan di Pusat Negara Laos yang Sangat Sepi |
Kami
memarkir sepeda di seberang jalan dan mulai memasuki Patoxai. Ada beberapa
lantai yang harus kami naiki. dari puncak bangunan ini, kami bisa melihat
sekeliling kota Vientiane. Patoxai ini dibangun sekitar tahun 1958 untuk
mengenang jasa pahlawan yang telah gugur dalam merebut kemerdekaan dari
Perancis. Di seberang jalan ada kantor pemerintahan LAO PDR (nama resmi negara
Laos), bisa dibilang 11 12 dengan kantor walikota Blitar.
Pusat Kota Vientiane, Tampak dari Puncak Patoxai |
Lepas
dari patoxai, kami melanjutkan perjalanan ke That Luang area, namun tepat pada pukul
13.00 gerbang masuk area ini tutup karena istirahat makan siang. Kami pun hanya
berputar-putar lalu mencari tempat makan yang sejuk.
That Luang, stupa emas lambang negara Laos |
Panas
yang menyengat tak meruntuhkan niat kami untuk berputar-putar kota Vientiane.
Di ujung jalan ini ada lambang negara Vientiane yang tercetak pula dalam mata
uangnya. Yaitu That Luang stupa, sebuah stupa budha yang ditutupi oleh emas. Tiket masuk ke
sana seharga 5.000 kip, namun pemandangan yang kami dapatkan sangat jauh dari
yang diharapkan. Kami sangat ragu apakah itu benar-benar emas, atau hanya
bangunan yang di cat warna emas. Bangunan lambang negara ini begitu tidak
terawat, kusam dan bahkan dengan museum Bung Karno di Blitar saja tidak ada
apa-apanya.
Jilom dan Astrid, Tidur Siang di Halaman That Luang |
Karena tempat ini begitu sepi, tenang, dan mirip kondisi di
belakang rumah, yang kami lakukan adalah tidur siang di atas rumput di bawah
langit yang sedikit lebih ramah. Lelah juga setelah berjam-jam mengayuh sepeda
pada tengah hari. Setelah
bangun dari tidur siang yang jarang saya lakukan semenjak lepas dari Indonesia,
badan pun terasa lebih rileks.
The Sleeping Budha di Vientiane |
kami pun keluar dari area ini dan masuk ke
kuil budha tidur. Mengingatkan saya akan patung serupa yang ada di Mojokerto.
Setelah selesai berfoto, kami pun memutuskan untuk pulang ke guesthouse karena
bus saya ke Vietnam berangkat jam 5 sore. Setelah saling mengucap salam, kami
pun berpisah di pertigaan settathirat road. Astrid ke hotelnya, sedangkan saya
dan Jilom ke guesthouse kami.