Setelah
mengembalikan sepeda sewaan, dengan menggunakan sim-c ku sebagai jaminan, kami
berjalan ke penginapan masing-masing.
Aku, Gilom, dan Astrid berpisah di perempatan Settathirat Road. Kebetulan Gilom
tinggal di Guesthouse yang sama denganku, jadi kami berjalan beriringan.
Alhamdulillah, hujan tidak turun di sini. Berbeda dengan kehidupanku di
Thailand yang selalu berbasah-basah dengan air hujan.
Ibu Jepang yang tinggal di kamar sebelah memberitahu ku
bahwa membeli tiket bus di terminal jauh lebih murah daripada membeli lewat
travel agen yang ada di hostel atau hotel. Dan benar saja, aku mendatangi pusat
informasi untuk menanyakan ini-atas saran
dari ibu Jepang itu. Beliau juga menyarankan aku untuk mengunjungi beberapa
kota di Vietnam, seperti Hanoi, Hue, Danang, Na Thrang, lalu Ho Chi Minh City.
Otakku terus berpacu. Ada beberapa hal yang harus aku
pikirkan karena uangku terbatas, dan waktuku juga sangat amat terbatas. Aku
sudah membeli tiket pesawat untuk kembali ke Indonesia dua minggu lagi. Sedangkan
penerbanganku ke Indonesia berangkat dari Malaysia. Sekarang posisiku di negara
Laos. Padahal aku ingin ke Vietnam, lalu ke Kamboja, kembali ke Thailand baru
ke Malaysia. Artinya, untuk menuju Indonesia, aku harus menempuh rute darat
yang melewati empat negara.
Aku tak tahu berapa waktu tempuh perjalanan ini. Apakah
bus akan melewati jalanan macet atau aku tersesat. Aku harus mengatur semua. Oh
ini bukan liburan kawan. Teman-temanku di Surabaya sana sudah memulai
kuliahnya. Dan aku, memikirkan bagaimana bisa menggapai tempat-tempat terbaik,
dan pulang ke Indonesia tepat waktu. Intinya, aku ingin meraup pengalaman yang
banyak, dengan uang dan waktu sedikit. Serakah? Ya!
Setelah sampai penginapan, ibu Jepang-yang sangat membantu
mengarahkan perjalananku memberitahu untuk menggunakan bus hop on-hop off.
Artinya kita bisa naik turun bus di beberapa kota dengan satu tiket bus. Beliau
juga menyarankan satu hotel dengan dormitory di Hue, namanya Binh Duong dibaca
Binjong.
“Turun
dari bus, nanti langsung ketemu tukang ojek. Kamu percaya aja sama dia. Ya
tawarlah, nanti dia bakal nganterin kamu ke hotel-hotel itu.” Beliau memberikan
saran dengan bahasa Inggris yang cukup fasih.
Setelah berpamitan dengan Gilom, aku membeli dua kaleng
bir khas Laos sebagai oleh-oleh kawa di Surabaya. Aku pun menawar tuk-tuk di
dekat guest house untuk menuju terminal utama. Ada minuman keras mahal di
bangku penumpang, dan sepertinya sopir tuk-tuk ini sedikit mabuk. Gaya
bicaranya aneh, badannya agak tidak terkontrol. Namun mabuk bukanlah
pemandangan yang asing di negeri Indochina ini.
Viantiane ada di belakang sana. Aku mengawasi senja
perpisahan ini melalui tuk-tuk yang mengantarkanku ke terminal. Kota ini hampir
sama dengan kota Kediri. Bahkan kota Kediri lebih ramai. Hamparan sawah
mengingatkanku akan kampung halaman. Aku akan melanjutkan perjalanan ini ke
Vietnam. Namun aku tak tahu kota mana yang harus aku tuju. Hanoi, Hue, atau
Danang. Ah yang penting sampai di terminal dulu. Semoga tidak salah langkah.
Setelah gontok-gontokan
dengan sopir tuk-tuk karena aku tidak mempunyai uang kecil, dan dia tidak
mempunyai uang kembalian, aku akhirnya pergi ke money changer. Oh iya, satu
informasi penting. Uang Thailand bisa digunakan di Laos, tapi tidak bisa
digunakan di Vietnam. Bodohnya, informasi itu baru aku dapatkan saat di Vietnam
nanti.
Di money changer aku bertemu seorang pemuda yang akan
menuju Hanoi, aku berbicara dengannya yang kebetulan fasih berbahasa Inggris.
Namun setelah melihat bus tujuan Hue, ku membatalkan niatku. Aku tukar tiket
Hanoi yang sudah kubeli, dan aku membeli lagi tiket ke Hue. Hue? Kota yang
asing, lebih dekat dengan Vientiane, dan kota yang tak ada dalam imajinasiku.
Karena biasanya landmark dari Vietnam adalah Hanoi dan Sapa yang terkenal
dengan gunung-gunung dan laut layaknya di serial kung fu China yang biasa ku
tonton waktu kecil dulu.
Ini
adalah perjalanan malam. Pertama kalinya aku menaiki sleeper bus. Bus jenis ini tidak ada
di Indonesia. Tempat duduknya “langsung slonjor”, dan alas kaki harus dilepas. Pemandangan
di luar hanya terlihat samar. Aku mencoba untuk tidur, tapi kelak kelok jalan
ini mengguncang perutku. Tidak mudah berbaring di dalam bus.
Setelah
matahari bersinar, barulah kami sampai di perbatasan Lao Bao- Savanaket.
Ternyata tidak ada satu pun dari orang-orang di bus ini yang menggunakan bahasa
Inggris. Mereka semua penduduk lokal, karena biasanya turis asing menggunakan
bus dari travel. Ternyata lagi, paspor mereka sudah dikumpulkan jadi satu oleh sopir bus dan diantarkan menuju
kantor imigrasi Lao Bao, kantor imigrasi milik Laos. Sedangkan aku yang tidak
tahu apa-apa masih bingung di tempat perhentian ini. Setelah aku masuk ke
toilet milik pedagang yang dijadikan perhentian bus, aku ditawari tukang ojek
lokal yang mau mengantarkanku ke imigrasi Lao Bao untuk mendapatkan stempel
“telah meninggalkan Laos”.
Tampak
pegunungan di kanan kiri. Mirip daerah Ngebruk-Kesamben. Daerah antara Blitar
Malang yang selalu kulewati setiap dua minggu. Suasana kantor imigrasi pun
lengang. Tampak beberapa orang menyelipkan uang ke dalam paspor mereka.
Sedangkan aku, turis gadungan yang menggunakan kesempatan untuk berkelana
sendirian setelah lomba di Thailand, memilih untuk sok cool. Hanya menyerahkan
paspor dan formulir departure. Petugas imigrasi itu hanya bergumam, “oo dari
Indonesia”, dan semua langsung beres.
Setelah menunggu beberapa lama, bus pun berjalan
melintas. Kami naik lagi hingga ke imigrasi selanjutnya, yaitu imigrasi
Savanaket milik Vietnam. Tampak beberapa orang juga menyelipkan uang mereka ke
dalam paspor. Sekali lagi, aku bertampang cool. Dan petugas imigrasi itu
langsung memasang tampang tidak garang. Terus terang, ketika memasuki imigrasi
Vietnam ini aku merasakan aura garang. Aura menyeramkan dengan kantor imigrasi
yang dijaga oleh tentara bersenapan lengkap. Daerah ini sepertinya juga menjadi
daerah pengembangan militer Vietnam.
Ketika aku mencoba memotret, langsung ditegur oleh
seorang tentara bersenapan. Maklum saja, Vietnam adalah negara
berkembang-mendekati maju, sedangakan Laos adalah negara berkembang-mendekati
miskin. Bus berhenti cukup lama di perbatasan, mungkin menunggu penumpang lain
yang masih berurusan dengan proses imigrasi. Seteah semua selesai, barulah bus
berangkat. Tiga jam kemudian, bus ini berhenti lagi di sebuah warung makan. Aku
sama sekali tidak tertarik. Apalagi banyak yang bilang, orang Vietnam itu
jutek-jutek. Berdasarkan pengalaman suram mereka selama perang dengan Amerika
Serikat, orang Vietnam memang dikenal pemberani. Entahlah, apakah selepas dari
sini aku akan kehilangan keramahanku karena proses adaptasi ini.
Aku sibuk melihat peta di buku lonely planet bekasku. Memang
jika kita ingin menghilang, buang buku ini. Tapi jika kita ingin efisien,
pakailah buku ini. Kurang beberapa kilometer lagi, untuk pak kondektur sudah
tau tujuanku. Akupun mencoba berbicara dengan penumpang lain, sudah sampai
tujuanku. Sebuah kota budaya yang tata kotanya mirip dengan Kota Malang. Hue,
tempat dinasti Nguyen berasal.